selamat berjihad kawan-kawan PII senusantara.. lahirkan kader-kader pemersatu ummat pejuang syariah.. semoga training liburan ini sukses..

Sabtu, 30 Oktober 2010

aku tak bisa menyelesaikan studiku karna ketidak beruntunganku...

aku lahir dari orang tua yang dibilang kaum matrealis miskin karena tak punya dana untuk memenuhi hajat kehidupanku, ayahku hanya seorang hansip, ibuku hanya penjual nasi uduk..
namun aku tetap bersyukur pada tuhanku aku bisa diberi kesempatan berproses dalam kehidupan ini..
aku dipercaya tuhan untuk menjadi khalifahnya yang menjadi penghiburku dibalik keterpurukan ini..
 sejak SD aku terbilang anak yang pandai, itulah kata temanku dan beberapa guruku..
dan memang harus aku akui aku diberi anugrah otak yang cemerlang untuk menangkap pelajaran yang            sebenarnya teramat membosankan.. yah aku bangga mampu membahagiakan orangtuaku yang mengambil raport ku dengan senyum merekah yang terpancar dari bibir indah orang tuaku walau sdah menginjak usia kepala lima..
hari-hari di SD ku aku sangat bahagia, tak pernah ada guru yang menanyakan SPP ku, yah mungkin aku beruntung bisa hidup dizaman diwajibkannya belajar 9 tahun dengan biaya yang gratis, walau terkadang ada pungutan liar dari komite sekolah yng isinya pera orang tua murid yang mempunyai keberuntungan materi yang jauh lebih banyak ketimbang aku, pulang pergi mereka diantar dan dijemput dengan mobil mewah lengkap dengan mama yang mengenakan perhiasan yang begitu mencolok seperti ingin datang ke pesta.
aku iri?? ah ga gitu juga, orang tuaku sangat mengajarkanku untuk hidup legowo, menerima apa adanya tentu dengan terus berusaha agar rizkiku tak diambil pra penjilat itu.
aku punya pengalaman menarik waktu aku berada di semester akhir sekolahku, guruku yang juga menjabat wali kelasku jauh denganku, walau dia masih tetap menjaga senyum padaku, waktu itu aku menerima hasil uji kelayakan aku memasuki sekolah SMP, yang pada saat menulis aku dengan yakinnya mencatat sekolah unggulan didaerah ku satu diantaranya adalah sekolah parlente, hampir 90% anak muridnya menggunakan mobil saat sekolah dengan diantar jemput sopirnya berikut memang mereka aku akui pintar-pintar ditambah lagi dengan bekal laptop beserta modemnya yang memudahkan mereka belajar. dan pada akhirnya aku masuk disekolah tersebut dalam kertas hijau pemberitahuan ujianku.
saat mengetahui bahwa aku masuk disekolah tersebut satu diantara orang tua murid yang sangat aktif di komite sekolah berkata pada guruku, " koq dia masuk si pak?". yah perkataan yang sedikit banyaknya membuat aku tersinggung beserta bangga mengalahkan anaknya yang juga masuk dalam sekoah tersebut namun peringkatnya teramat jauh dibandingkan aku.
pada rapat tertutup antara ibuku dan guruku, guruku memberikan raportku pada ibuku sambil berkata, "ini bu prestasi anak ibu sebenarnya masuk menjadi peringkat teratas, namun dengan segala pertimbangan karna ada orang tua murid yang sangat aktif disekolah ini, saya menjadi tidak enak bu, maaf saya taruh nama anak ibu dalam peringkat kelima". perkataa tersebut disampaikan ibuku pada saat sampai dirumah, aku tertegun, hasrat ingin sekolahku disekolah parlente itu lenyap, aku yang hanya anak kecil ini tak mampu berfikir mendalam, yah akhirnya aku ememutuskan sekolah didekat rumahku saja, selain ekonomis tentu sangat menjaga kehormatan orang tuaku agar tidak lagi terdzolimi oleh yang namanya komite sekolah. yah akhirnya aku ikuti keputusanku itu.
di SMP aku mulai menggelar bermacam-macam prestasiku, dari mulai akademisku yang membangakan, aku juga tak pernah memalukan almamaterku dalam kejuaraan lomba ini dan itu, aku selalu terpilih untuk tampil didepan, Rohis dan OSIS aku diberikan kekuasaan untuk menjadi orang pertama dalam kedua organisasi tersebut, bahkan dalam pramuka pun aku selalu tampil terdepan. aku sangat bahgia menjalani kehidupanku di SMP yang begitu indah tanpa ada bisikan-bisikan materi yang mematahi semangat. tentunya dengan komite sekolah yang setia menemani finansialku, yah aku bahagia karena dalam komite tersebut masih ada orang-orang baik hati yang peduli padaku, tak seperti saat SD ku.
akhirnya aku lulus dengan peringkat no 1.
aku putuskan untuk melanjuti sekolahku ke SMA yah walau modal nekat karena di SMA sudah mulai dikenakan biaya yang teramat besr bila dibandingkan pemasukan orang tuaku. aku mulai memasuki wilayah putih abu-abu. dengan hutang sana sini aku akhirnya masuk sekolah SMA Negri yang berada lumayan jauh dari rumahku, namun itu merupakan sekolah SMA Negri terdekat disekolahku.
baru saja sebulan aku masuk sekolah itu aku tertimpa musibah yang sangat memukul jiwa ku, ayahku wafat dalam sujudnya, ku ditinggal berlima bersama seluruh kakaku, adik-adikku beserta ibuku, aku mulai goyah hatiku terpejam sesaat, ku goes sepedaku dengan lemas dengan memasang muka melas, lambat laun aku tersadar dan bangkit kembali, aku mulai semangat, aku lalui hariku dengan senyum yang terhias dibibirku, aku pun mulai menunjukan prestasiku, baru saja tiga bulan aku duduk dibangku sekolahku aku sudah dipercaya memegang Rohis dan juga menjadi anggota yang disegani di OSIS, hari-hariku terus berlalu dengan bahagia, namun sesampai pada saat ujian semester aku termenung diluar kelas, yah aku tak boleh masuk dengan alasan belum memenuh administrasiku, dengan menangis aku pulang dan menyampaikan surat yang dititipkan kepala bendahara sekolah pada orang tuaku. dengan rela dan tidak rela aku kuatkan tuk menyampaikannya pada ibuku, yah aku masih ingat semuanya kalau ditotal terbilang "3.555.000,-"  yah biaya yang sangat besar bagi keluargaku, untuk makan saja aku hanya makan sekali sehari, yah hanya pagi hari sekaligus makan nasi uduk yang akan dijual orang tuaku, apalagi untuk sekolahku.
dengan langkah yang tertatih ibuku yang juga sudah menjadi nenek-nenek pergi menghadap bendahara sekolahku, bendahara itu berkata " bu sudah terima surat tagihan dari saya?" ibuku hanya mengangguk. "yah itulah persyaratan agar anak ibu bisa masuk ruang ujian",lanjutnya, akhirnya kepala sekolahku datang dan menghampiriku, "sudah kamu masuk ruang ujian saja dulu", uajrnya.
dengan mata yang masih memerah aku memasuki ruang jian, dari dalam ruang ujian itu aku aku melihat ibuku menangis meninggalkan sekolahku. hatiku bertambah sedih dalam ruang ujian tersebut, aku mulai sangat jauh dari soal-soal yang menyesatkan itu, "hah aku harus tegar" ujarku dalam hati.
dalam waktu kurang dari sepuluh menit aku berhasil mengerjakan 45 dari soal itu.
dan pada saat melihat raport siswa yang dipajang itu aku melihat namaku masuk sepuluh besar, sedikit obat dahaga hatiku.
semester dua aku lalui dengan senyuman, namun lagi-lagi surat pembunuh jiwaku melayang padaku seakan hendak memotong leherku, aku berkali-kali dipanggil keruang bendahara.
pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak lanjut sekolah...
aku putuskan itu karena aku merasa aku bukan orang yang beruntung dan aku tak mau lagi melihat ibuku menangis keluar dari ruang syetan itu.
sekarang aku hanya menjadi buruh pabrik dengan selemari piala SMP ku.
( di tulis oleh kader PII jakarta barat yang dinukil dari cerita nyata).

sebuah ironi dinegri yang kaya, banyak orang yang tak bisa mengenyam pendidikan berkualitas hanya karena SYETAN UANG, dan juga guru goblog yang masih dipelihara..

andai Al-Qur'an berbicara

waktu engkau masih kanak-kanak
kau laksana kawan sejatiku
dengan wudhu aku kau sentuh
dalam keadaan suci aku kau pegang
kau junjung dan kau pelajari
aku kau baca dengan suara lirih atauun keras tiap hari.
       sekarang engkau telah dewasa
       nampaknya engkau sudah tak tertarik lagi padaku
       apakah au bacaan usang?? yagn tinggal sejarah
       menurutmu barangkali...
       aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu
       atau menurutmu.... aku hanya
       untuk anak kecil yang belajar mengaji saja??
sekarang aku kau simpan rapi sekali
hingga kadang kau lupa dimana menyimpanku
aku sudah kau anggap perhiasan untukmu
kadang kala aku dijadikan mas kawin
agar engkau dianggap orang yang bertaqwa
atau aku kau buat penangkal
untuk menakuti hantu dan syetan
aku lebih banyak tersingkir
dibiarkan dalam kesendirian
dan kesepian diatas lemari
dalam laci aku engkau pendamkan..
      dulu pagi-pagi
      surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman
      sore hariny aku kau baca ramai-ramai bersama temanmu disurau
sekarang...
sambil minum kopi
engkau baca koran pagi atau nonton berita TV
waktu senggang engkau senpatkan baca buku buatan manusia
sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa
engkau campakkan engkau abaikan dan engkau lupakan
bila engkau dikubur
engkau akan diperiksa oleh para malaikat suruhanNya
hanya dengan ayat Allah yang ada padaku
engkau dapat melewatinya
setia saat berlalu
kuranglah jatah umurmu..

(Dwi Slamet Raharjo)

Kamis, 28 Oktober 2010

GERAKAN MAHASISWA ISLAM KINI (Sebuah Renungan Terhadap Perjuangan M. Natsir)

sebuah tulisan yang saya ambil dari blog kakanda rozak daud hommabatan, semoga bermanfaat bagi kita semua..
Sejatinya sebuah gerakan mahasiswa Islam mesti mempunyai arah dan tujuan yang ideal dan substansial. Sejarah pergerakan mahsiswa (Islam) yang hidup di republik ini, penuh dengan makna dan nilai-nilai luhur dan transendental. Dalam rangka membentuk aktivis dakwah kampus yang idealis, respon terhadap kondisi sosial dan mempunyai sikap rendah hati untuk mencari ridho Tuhan semata. Hal inilah yang melatari salah seorang pahlawan nasional yang baru saja disahkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional, Dr. Mohammad Natsir untuk membangun jaringan kader atau aktivis dakwah kampus. Misi intelektualitas dan keummatan menjadi media untuk menciptakan aktivis-aktivis Islam yang handal dan mempunyai kepekaan sosial. Diawali dari berdirinya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang kemudian hari telah menelurkan para aktivis gerakan Islam, khususnya di kalangan kampus. Menurut Natsir, ada 3 komponen utama yang menjadi wahana atau media untuk dakwah, yaitu: Pesantren, Kampus dan Mesjid. Tiga komunitas inilah yang menjadi urat nadi dalam membangun basis keummatan dan basis intelektualitas di internal umat Islam. Cita-cita Natsir yang mulia tersebut kemudian mengilhami para kader-kader mahasiswa Islam atau dikenal aktivis Islam kampus untuk mengembangkan resonansi dakwah Islam menjadi lebih luas lagi. Diantara aktivis kampus yang peka dan terilhami oleh Natsir adalah Imaduddin Abdurrahim atau lebih dikenal sebagai Bang Imad. Di kalangan aktivis Islam kampus generasi awal, peran penting Bang Imad tidaklah bisa dilupakan. Kontribusi beliau mempioneri lahirnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan pusat-pusat kajian Islam di mesjid-mesjid kampus telah membangkitkan ghirah intelektualitas mahasiswa Islam di berbagai kampus. Bermula dari Mesjid Salman Al-Farisi, Kampus ITB, kemudian tersebar ke berbagai kampus (umum) di pulau Jawa dan luar Jawa.




Menjadi fokus kajian yang penting di sini adalah, peran serta para aktivis Islam sebagai pusaran intelektualitas kampus dan ujung tombak bagi terbangunnya Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Jasa besar Muhammad Natsir tidak bisa dilupakan begitu saja oleh para aktivis Islam kampus. M. Natsir sebagai seorang negarawan, politikus dan pemikir Islam, menginginkan komunitas kampus menjadi titik nadi bagi dinamika intelektualisme yang progresif. Sebagai wadah untuk berpikir ke depan bagi ummat dan bangsa. Watak berpikir keummatan, kebangsaan dan intelektualitas inilah yang sebenarnya menjadi karakteristik dakwah kampus sejatinya. Paradigma aktivis Islam kampus, jangan serta merta bergeser begitu saja, tanpa menengok akar sosio-historis dinamika gerakan dakwah kampus. Penulis berpikir bahwa realitanya sekarang adalah terjadinya distorsi paradigma gerakan dakwah Islam kampus. Banyak diantara kalangan aktivis dakwah Islam yang lupa (sengaja atau tidak), terhadap konstruksi sosio-historis gerakan mahasiswa (aktivis) Islam kampus. Karakter intelektualitas merupakan ciri mendasar bagi terbangunnya paradigma pergerakan yang progresif. Aktivis mahasiswa Islam yang intelek dan cendekia telah banyak dilahirkan melalui tangan Pak Natsir dan Bang Imad. Karakter keummatan merupakan tipologi yang memang peyoratif (internal umat), namun telah menjadi sifat yang pas untuk membangun kader-kader aktivis mahasiswa Islam yang peduli terhadap umat Islam. Sejarah membuktikan ketika pada mulanya rezim Soekarno maupun Soeharto memandang kalangan aktivis Islam kampus sebagai duri dalam daging. Makanya di era Soeharto kalangan aktivis Islam khusunya di kampus diasosiasikan sebagai ”Ekstrim Kanan” di samping gerakan ”Ekstrim Kiri’ yang berhaluan sosialis-komunis. Karakteristik yang tak bisa dihilangkan adalah watak kebangsaan. Sejarah nasional membuktikan bahwa Pak Natsir merupakan negarawan yang mencetuskan mosi integral bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga pilar inilah yang mestinya dibaca ulang oleh para aktivis dakwah mahasiswa Islam kampus, untuk kemudian diimplementasikan secara rasional.



Seandainya Pak Natsir masih hidup, mungkin beliau akan bersedih ketika melihat realita sosial berbagai aktivitas gerakan mahasiswa Islam kampus kini. Para kader-kader dakwah yang beliau lahirkan telah banyak sumbangsihnya bagi ”terhijaukannya” kampus-kampus di republik ini. Namun kini, nilai juang yang digoreskan oleh Pak Natsir dan Bang Imad di kalangan aktivis Islam kampus mengalami reduksi. Watak intelektualisme telah mengerucut kepada karakter ”taklid buta” atau bahasa sederhananya adalah mengikuti pendapat/pemikiran orang lain tanpa mengetahui ilmunya. Intelektualisme yang sejati adalah menggunakan segala kapabilitas rasional untuk memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan keummatan dan kebangsaan. Diskusi-diskusi yang menggoda keimanan dan memacu logika untuk berpikir mendalam (falsafati) menjadi barang yang mahal di kalangan aktivis Islam kampus. Bahkan logika dan rasionalitas yang berindukkan filsafat, telah dijadikan konsumsi yang haram bagi sebagian aktivis mahasiswa Islam kampus. Watak keummatan telah direduksi menjadi watak kelompok, harokah, organisasi pergerakkan (dakwah Islam), usroh, dan sebutan lainnya, yang menunjukkan jika aktivis mahasiswa Islam kampus telah terkotak-kotak dan menjadi kerdil. Sehingga terma ”kami” dan ”mereka” adalah kata yang wajib untuk mengklasifikasikan personal yang ada di dalam kelompok dan personal yang berada di luar kelompok. Watak keummatan sejatinya adalah bentuk kepekaan terhadap kondisi umat yang dalam konteks nation-state adalah bangsa Indonesia tercinta. Watak keummatan berujung kepada watak kebangsaan yang lebih luas lagi. Dalam konteks negara modern, konsep nation-state menjadi mutlak dipakai, sebab pluralitas, multikulturalisme, demokrasi dan toleransi adalah keniscayaan. Faktanya kini adalah paradigma berpikir yang sempit dalam menanggapi idiom-idiom asing yang muncul. Sifat alergi terhadap multikulturalisme, pluralitas, toleransi bahkan demokrasi ditunjukkan oleh banyak komponen aktivis mahasiswa Islam. Semua itu seakan-akan menjadi barang yang syubhat jika tidak dikatakan haram, sebab merupakan produk impor dari Barat. Kemudian, tidaklah mengherankan jika sekarang akan susah untuk membedakan aktivis mahasiswa Islam dengan aktivis partai. Fenomena sosio-politis keagamaan ini menjadi sesuatu yang biasa saat ini. Menjadi rahasia umum jika suatu gerakan mahsiswa Islam di kampus telah berafiliasi dengan pertai politik tertentu. Walaupun hal itu akan membunuh idealisme dan nilai-nilai transendental suatu gerakan mahasiswa Islam. Watak kebangsaan dan keummatan yang mengharuskan kepekaan terhadap kemiskinan, kebodohan, akses pendidikan, antrian minyak di kampung-kampung, perjuangan hak azasi manusia, korupsi yang merajalela, supremasi hukum, kontrol terhadap pemerintah, nasib para buruh/pekerja, penanaman modal asing dan lainnya, telah terkonversi menjadi politisasi agama demi kekuasaan, sesat-menyesatkan masalah khilafiah, pendekatan kepada para calon anggota legislatif untuk Pemilu 2009, demonstrasi yang dibayar demi kepentingan kelompok atau partai tertentu, yang pada akhirnya terjadilah pengekebirian dan pemandulan terhadap watak intelektual, keummatan dan kebangsaan para aktivis mahasiswa Islam kampus.



Tentunya penulis mengharapkann agar setiap mahasiswa yang menyandang aktivis mahasiswa Islam kampus untuk kembali membaca ulang sejarah terbangunnya gerakan mahasiswa Islam kampus. Agar tak terjadi lagi paradoksal idealisme sebuah gerakan mahasiswa Islam dan distorsi konstruksi sejarahnya. Penulis mengharapkan agar Natsir muda, Nurcholis Muda, Ahmad Wahib muda, Imaduddin muda kembali terlahir di era pergerakkan mahasiswa Islam kontemporer yang berhadapan langsung dengan multikrisis seperti sekarang. Semoga

Game Anti-Islam di Austria, Tembaki Muadzin dan Menara Masjid

Sebuah partai ekstrim kanan di Austria memicu kemarahan umat Islam. Partai yang tampaknya anti toleransi beragama itu membuat sebuah game online anti-Islam hanya untuk kepentingan menghadapi pemilu.
Dalam permainan yang diberi nama 'Moschee Baba' atau 'Bye-bye (selamat tinggal) Masjid' itu, pemain diharuskan menembak jatuh muadzin atau menara masjid dalam waktu 60 detik untuk mengumpulkan poin. Game yang dibuat oleh Partai Kebebasan (FPOe) itu digunakan untuk kampanye mendukung Gerhard Kurzmann, calon anggota parlemen dari daerah Styria.

''Game Over. Styria sekarang penuh dengan menara dan masjid!''  ujar Kurzman provokatif di akhir permainan game tersebut, sambil meminta pemain untuk memilih dirinya pada tanggal 26 September 2010 dalam pemilu lokal.
Situs ini kemudian mengajak pemirsa untuk ambil bagian dalam survei yang mempertanyakan apakah pembangunan menara dan masjid harus dilarang di Austria. Survei itu juga mengajukan pertanyaan apakah umat Islam harus menandatangani pernyataan bahwa hukum negara harus diutamakan dari Alquran.
Game itu tampaknya sengaja dibuat untuk memprovokasi umat Islam dan akhirnya mencuri perhatian publik.Austria Press Agency melaporkan, di Styria tidak ada masjid dengan menara seperti digambarkan dalam game tersebut. Di kota itu, sekitar 1,6 persen penduduknya adalah Muslim dan hanya ada empat bangunan masjid.
Anas Schakfeh, pemimpin komunitas Islam Austria, mengritik game tersebut yang dinilainya tanpa perasaan dan tak bisa dimengerti. ''Ini benar-benar kebencian terhadap agama dan xenophobia di luar batas,'' katanya kepada ORF Austria.
Austria Sosial Demokrat dan Partai Hijau telah bergabung dengan komunitas Islam untuk mengutuk game tersebut. ''The FPOe menargetkan menara yang sebenarnya tidak pernah ada,'' kecam Werner Kogler, kandidat dari Partai Hijau di Styria.

kebingungan penumpang pada masinis (sebuah renungan menuju KONWIL)

Sudah hampir dua tahun kita naik kereta ini, masih ingatkah kita pada semangat yang kita bangun pada awal pemilihan masinis kereta ini serta tujuan kereta cantik kita?? semangat besar yang begitu terasa, seakan menjadi kepastian bahwa kita akan sampai pada tujuan kita, awal-awal kita berangkat mesin kita masih rapih rel kita masih baru berikut dengan masinis dan penumpangnya, sebulan kita lalui masih terasa semangat itu, ya semangat besar nan penuh keyakinan bahwa kita akan sampai pada tujuan kita, indikator tujuan kita pun dibangun, begitu banyak stasiun yang kita lewati begitu pula dengan penumpang yang kita raih pada stasiun-stasiun itu, gerbong-gerbong kita yang selalu sibuk mempercantik gerbongnya agar semakin banyak penumpang yang kita raih.
            Semester awal masih banyak penumpang yang kita raih, bayangkan dalam satu gerbong kita dapat menghaasilkan 100 lebih penumpang, gerbong-gerbong kita masih lancar tentunya dengan sokongan masinis kita, hari-hari kita jalani dengan senyum, canda dan tawa dengan terus menatap pada stasiun harapan kita saling memperbaiki apa yang kurang pada kereta kita, kita terus menerus mempercantik kereta kita, masinis kita pun masih begitu semangat, dengan begitu yakinnya dia memainkan tuas kemudi kereta kita.
            Antara semester satu dan dua mulai satu persatu masinis kita turun dari kereta, tapi kita masih tetap semangat, kita hanya mampu berhusnudzan mungkin masinis kita lelah membawa gerbong yang kita tumpangi ini. di stasiun pun usaha kita mulai hilang untuk meraih penumpang bahkan penumpang-penumpang yang baru saja kita raih di stasiun sebelum ini turun ditengah jalan, yah memang mudah turun dari kereta ini, karena lambatnya kereta kita, itu harus kita akui!!! tanpa rasa takut apalagi menyesal mereka turun dari kereta ini,. gerbong kita tinggal sedikt yang mampu meraup peumpang dan jumlahnya pun mulai berkurang yah tak sampai pada pencapaian semester awal kita, gerbong kita pun menjadi lusuh karena masinis yang jarang bahkan hampir tidak pernah melihat atau memeriksa gerbongnya, gerbong kita pun makin rapuh.
            Semester dua sampai tiga mulai para masinis masinis utama kereta kita turun dari kereta kita, lagi-lagi tanpa rasa takut bahkan malu mereka turun dengan penumpang yang masih setia dalam gerbong, tetapi lagi-lagi kita sebagai penumpang hanya mampu berhusnudzan, mungkin mereka punya kepentingan diluar sana, atau mungkin pencapaian mereka pada kereta kita sudah mereka dapat. Kita mulai merenung dengan semua ini, masinis kepala kereta kita pun kelelahan, pembantu-pembantunya mulai berhilangan, ‘ah biarkan saja mungkin mereka lelah’ ujar masinis itu menghibur diri.
Semester tiga semuanya mulai tak terkendali, masinis utama itu kelelahan dan saking lelahnya tanpa tanggung jawab ia turun dari kereta tanpa berpamitan dengan penumpang yang telah mempercayakannya, yah hanya sepucuk surat pengunduran diri sebagai masinis. kereta kita mulai acak-acakan, para masinis kita saling tempur dalam kereta, yah mungkin karena kebingungan mereka pada keretanya yang ditinggal satu persatu pembantu masinis bahkan masnis kepala.
Mulailah komunikasi antara kepala kereta yang isinya para masinis dengan para penghuni gerbong membicarakan kembali bagaimana solusi semua ini??. Akhirnya kia sepakat dengan memilih masinis baru dengan seadanya pembantu masinis yang masih setia pada kereta kita. Gerbong-gerbong mulai diperbaharui, yah walau tidak jelas rel manakah yang akan kita gunakan.
Ssssssssssssssssttttttttttttttttttttttttt…. Baru saja kereta yang kita usahakan agar bisa cantik lagi dibangun mulai lagi penyakit lama timbul. Pembantu setia masinis tumbang satu persatu, bahkan banyak penumpang yang ada dalam gerbong tak tahu siapakah masinis yang masih tersisa. Ah entahlah pa yang ada dibenak para masinis kita, semoga mereka benar-benar pada keyakinannya untuk menjadi lebih baik dengan meningalkan kereta lusung kita..
“sebuah kisah renungan menuju KONWIL PII JAKARTA RAYA ini tak lin dan tak bukan dibuat hanya untuk kepentingan kita bersama agar ditahun depan kita mampu membuat kereta yang lebih kuat dan lebih hebat”
Turunlah yang ingin turun dari kereta ini, futurlah orang-orang yang ingin future, tinggalkanlah bagi orang-orang yang ingin meninggalkan kereta kita ini, AKU KAN TETAP DISINI BERSAMA RABB YANG KUYAKINI SELALU SETIA MENEMANI HARIKU DI GERBONG LUSUH INI.
( Yazid Qulbuddin kader PII Jakarta Barat)

Rabu, 27 Oktober 2010

Anak SMU Masuk Islam

Aku pernah bekerja sebagai seorang guru olah raga di salah satu sekolah SMU di kota Fort Mead wilayah Maryland di negara Amerika. Aku mengajar lima kelas berbeda di sekolah itu. Mulai dari kelas sembilan (tiga SMP) sampai dengan kelas dua belas (tiga SMU), masing-masing lokal berjumlah sekitar 40 orang murid.
Pada suatu hari seorang murid bernama James meminta izin ingin bertemu denganku. Ia bukanlah salah seorang murid dari kelas yang aku tangani. Ia meminta izin melalui salah seorang muridku. Ketika aku menemuinya di kantor, ia bertanya tentang perkara-perkara pokok dalam Islam. Lantas aku memberikan jawaban yang ringkas. Selanjutnya ia kembali menemuiku dan meminta keterangan tambahan tentang hal itu. Aku bertanya kepadanya, "Apakah pertanyaan ini ada hubungannya dengan pelajaran ilmu kemasyarakatan yang sedang engkau pelajari?" Jawabnya bahwa ia telah membaca sebuah buku tentang Islam di perpustakaan sekolah yang memunculkan perasaan ingin tahunya tentang Islam.

Negara Amerika membuat peraturan adanya pemisahan antara urusan agama dan negara. Aku beritakan bahwa pembicaraan tentang masalah ini secara panjang lebar kurang tepat dilakukan di sekolah umum. Oleh karena itu aku mengundangnya untuk menikmati makanan ringan di restoran yang ada di dekat sekolah. Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dariku tentang Islam dan tauhid, terlihat bahwa ia banyak mengambil faedah dari pertemuan itu.

Pada waktu itu usia James masih 16 tahun. Ada beberapa ganjalan yang masih menggelayuti pikiranku. Pertama, ia belum mencapai usia dewasa. Jika kedua orang tuanya tahu bahwa ia serius mempelajari Islam dan selalu berbincang denganku, tentu mereka akan melarangnya. Di samping itu, kota Fort Mead tidak lebih sebuah kota kecil tempat pangkalan angkatan bersenjata dan masih termasuk wilayah militer. Aku berfikir jangan-jangan yang demikian itu dapat menimbulkan problem, karena ayah pemuda itu bekerja di pangkalan tersebut.

Walau demikian, aku masih sering bertemu dengannya di restoran itu. Setiap kali pertemuan, aku memberikan penjelasan yang lebih luas agar ia mendapat faedah lebih banyak. Kemudian muncul keinginannya untuk mengunjungi masjid tempat kaum muslimin melaksanakan shalat. Maka aku pun membawanya ke masjid kota Laurel yang berdampingan dengan kota Fort Mead. Masjid tersebut tidak lebih dari sebuah rumah kuno. Kaum muslimin setempat merubah bentuknya untuk kepentingan ibadah. Di sana aku mengajarkannya tata cara mengerjakan shalat yang membuat dirinya semakin tertarik dan takjub, karena shalat merupakan komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Rabb semesta alam SWT.

Kemudian James mengabarkan kepadaku tentang keinginannya untuk memeluk agama Islam dan menanyakan apa yang harus ia lakukan. Aku katakan caranya mudah, hanya dengan sebuah ucapan. Walau antusiasnya memeluk agama Islam sangat besar, tidak lupa aku sampaikan kepadanya bahwa dosa terbesar yang diemban seorang hamba ketika bertemu dengan Rabbnya ialah dosa seorang yang murtad dari agama Islam. Oleh karena itu ia harus menambah pengetahuannya tentang Islam dan amalan yang telah Allah wajibkan baik yang berkaitan dengan tauhid atau perkara ibadah, agar ia memeluk agama Islam atas dasar kesadaran dan ilmu.

Beberapa hari kemudian ia kembali mendatangiku. Dengan anugerah dan nikmat Allah serta dengan keinginan dan pilihan sendiri ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu dengan mengendarai mobilku, sekali dalam seminggu aku mengajaknya untuk melaksanakan shalat di masjid sekaligus untuk mendengarkan ceramah agama. Aku juga mulai mengajarinya huruf-huruf Arab dan dengan mudah dapat ia kuasai. Lantas aku lanjutkan dengan mengajarinya membaca al-Qur'an hingga ia mampu membacanya. Kemudian muncul keinginannya untuk mempelajari adzan. Setelah ia berhasil menguasainya, ia ingin memperaktekkannya di masjid sebagaimana yang telah diajarkan. Pengaruh adzan yang ia dengar dan yang ia kumandangkan terlihat jelas pada dirinya.

Pada suatu hari aku mengajaknya pergi ke masjid. Aku tercengang ketika melihat ia keluar tidak memakai pakaian Amerika tapi malah mengenakan pakaian gamis. Apatah lagi masyarakat sekitarnya sudah mengetahui kalau aku sering mengunjungi rumahnya dan menemaninya pergi ke masjid. Mereka menanggapinya dengan perasaan tidak suka. Aku katakan kepadanya bahwa penampilan seperti ini akan mengundang banyak perhatian. Seorang muslim boleh memakai kemeja dan celana di saat melaksanakan shalat. Setelah aku selesai berbicara, ia memandangku dan menjawab dengan santai, "Ya ustadz Ahmad, imanmu lemah." Aku bertanya, "Apakah kedua orang tuamu melarangmu memakai gamis tersebut?" Ia jawab bahwa kedua orang tuanya tidak menghalanginya dan mereka memahami bahwa ini semua adalah keinginan dan pilihanku sendiri. Ia juga menyebutkan bahwa ibunya memasak daging halal secara terpisah sebagai penghormatan terhadap dirinya yang tidak boleh memakan daging babi atau bangkai. Aku menjadi tenang mendengar itu semua.

Beberapa waktu kemudian, ia mendatangiku dengan membawa permintaan yang lain. Waktu itu ia masih duduk di jenjang SMU. Ia ingin merubah namanya dengan nama Islami. Aku katakan hal itu tidak mesti selama namamu sekarang tidak terlarang dalam syariat. Begitu juga dengan memakai nama yang asing di kalangan teman-teman Amerikanya mungkin tidak membantunya dalam usaha untuk mendakwahi mereka ke dalam Islam. Atau mungkin di antara mereka ada yang menyangka bahwa ia harus menukar namanya jika ingin memeluk agama Islam. Jika mereka mengetahui hal itu mungkin mereka akan mencuekinya. Namun ia menjawab dengan ucapannya yang lalu, "Ya ustadz Ahmad... imanmu lemah." Sejak itu namanya berubah menjadi James Husain Abeba. Kelihatannya namanya yang terakhir diambil dari nama orang Afrika yang banyak dipakai oleh bangsa Amerika berkulit hitam.

Setelah berhasil menyelesaikan jenjang SMU, ia mulai mencari pekerjaan di saat liburan musim panas. Ia mendapat sebuah pekerjaan sebagai penerima tamu di salah satu klinik milik seorang dokter wanita muslimah. Ia banyak mengisi waktunya dengan membaca, karena klinik tersebut baru berdiri sehingga tugas yang dilakukan masih sedikit dan tidak banyak menyita waktu.

Pada suatu kali, aku mendapat kesempatan untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan. Ini merupakan kali pertama aku menghabiskan bulan Ramadhan di kota Mekkah al-Mukarramah dan Kota Madinah Rasulullah SAW, bulan yang penuh berkah ini. Di balik kegembiraanku dapat melaksanakan Ied bersama kaum muslimin di kota Mekkah, aku masih mencemaskan pemuda (James) yang sedang sendirian di sana. Aku juga menanyakan keadaannya kepada beberapa teman yang ada di masjid. Mereka katakan bahwa ia masih tetap rutin datang, bahkan ia ikut melaksanakan i'tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan di masjid itu.

Ketika aku pulang, aku menanyakan beritanya dan aktifitas yang telah ia lakukan. Namun ia tidak menyinggung sedikitpun tentang i'tikaf yang telah ia laksanakan.

Selanjutnya ia memasuki sebuah universitas dan memilih bidang sejarah Islam. Aku juga mendapat khabar bahwa ia menikahi seorang muslimah India. Akivitas yang ia lakukan berupaya mempersatukan mahasiswa muslim yang belajar di kampusnya. Setelah menyelesaikan bangku kuliah, ia bekerja sebagai staf pengajar di salah satu sekolah Islam yang ada di kota Chicago. Dan, setelah itu beritanya terputus.

(SUMBER: SERIAL KISAH-KISAH TELADAN karya Muhammd bin Shalih al-Qahthani sebagai yang dinukil dari buku ‘Allah Memberi Hidayah Kepada Siapa yang DikehendakiNya’, karangan Imtiyaz Ahmad [Aslinya berbahasa Arab])

Selasa, 26 Oktober 2010

Pengaruh Qur'an Terhadap Organ Tubuh

[Dievalusi dengan menggunakan perangkat elektronik] 
Dr. Ahmad Al-Qadhiy (United States of America)
Ada menyeruak perhatian yang begitu besar terhadap kekuatan membaca Al-Qur'an, dan yang terlansir di dalam Al-Qur'an, dan pengajaran Rasulullah. Dan sampai beberapa waktu yang belum lama ini, belum diketahui bagaimana mengetahui dampak Al-Qur'an tersebut kepada manusia. Dan apakah dampak ini berupa dampak biologis ataukah dampak kejiwaan, atakah malah keduanya, biologis dan kejiwaan.
Maka, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kami memulai sebuah penelitian tentang Al-Qur'an dalam pengulangan-pengulangan "Akbar" di kota Panama wilayah Florida. Dan tujuan pertama penelitian ini adalah menemukan dampak yang terjadi pada organ tubuh manusia dan melakukan pengukuran jika memungkinkan. Penelitian ini menggunakan seperangkat peralatan elektronik dengan ditambah komputer untuk mengukur gejala-gejala perubahan fisiologis pada responden selama mereka mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Penelitian dan pengukuran ini dilakukan terhadap sejumlah kelompok manusia:
1. Muslimin yang bisa berbahasa Arab.
2. Muslimin yang tidak bisa berbahasa Arab
3. Non-Islam yang tidak bisa berbahasa Arab.
Pada semua kelompok responden tersebut dibacakan sepotong ayat Al-Qur'an dalam bahasa Arab dan kemudian dibacakan terjemahnya dalam bahasa Inggris.
Dan pada setiap kelompok ini diperoleh data adanya dampak yang bisa ditunjukkan tentang Al-Qur'an, yaitu 97% percobaan berhasil menemukan perubahan dampak tersebut. Dan dampak ini terlihat pada perubahan fisiologis yang ditunjukkan oleh menurunnya kadar tekanan pada syaraf secara sprontanitas. Dan penjelasan hasil penelitian ini aku presentasikan pada sebuah muktamar tahunan ke-17 di Univ. Kedokteran Islam di Amerika bagian utara yang diadakan di kota Sant Louis Wilayah Mizore, Agustus 1984.
Dan benar-benar terlihat pada penelitian permulaan bahwa dampak Al-Qur'an yang kentara pada penurunan tekanan syaraf mungkin bisa dikorelasikan kepada para pekerja: Pekerja pertama adalah suara beberapa ayat Al-Qur'an dalam Bahasa Arab. Hal ini bila pendengarnya adalah orang yang bisa memahami Bahasa Arab atau tidak memahaminya, dan juga kepada siapapun (random). Adapun pekerja kedua adalah makna sepenggal Ayat Al-Qur'an yang sudah dibacakan sebelumnya, sampai walaupun penggalan singkat makna ayat tersebut tanpa sebelumnya mendengarkan bacaan Al-Qur'an dalam Bahasa Arabnya.
Adapun Tahapan kedua adalah penelitian kami pada pengulangan kata "Akbar" untuk membandingkan apakah terdapat dampak Al-Qur'an terhadap perubahan-perubahan fisiologis akibat bacaan Al-Qur'an, dan bukan karena hal-hal lain selain Al-Qur'an semisal suara atau lirik bacaan Al-Qur'an atau karena pengetahun responden bahwasannya yang diperdengarkan kepadanya adalah bagian dari kitab suci atau pun yang lainnya.
Dan tujuan penelitian komparasional ini adalah untuk membuktikan asumsi yang menyatakan bahwa "Kata-kata dalam Al-Qur'an itu sendiri memiliki pengaruh fisiologis hanya bila didengar oleh orang yang memahami Al-Qur'an . Dan penelitian ini semakin menambah jelas dan rincinya hasil penelitian tersebut.
Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah perangkat studi dan evaluasi terhadap tekanan syaraf yang ditambah dengan komputer jenis Medax 2002 (Medical Data Exuizin) yang ditemukan dan dikembangkan oleh Pusat Studi Kesehatan Univ. Boston dan Perusahaan Dafikon di Boston. Perangkat ini mengevaluasi respon-respon perbuatan yang menunjukkan adanya ketegangan melalui salah satu dari dua hal: (i) Perubahan gerak nafas secara langsung melalui komputer, dan (ii) Pengawasan melalui alat evaluasi perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh. Perangkat ini sangat lengkap dan menambah semakin menguatkan hasil validitas hasil evaluasi.
Subsekuen:
1.      Program komputer yang mengandung pengaturan pernafasan dan monitoring perubahan fisiologis dan printer.
2.      Komputer Apple 2, yaitu dengan dua floppy disk, layar monitor dan printer.
3.      Perangkat monitoring elektronik yang terdiri atas 4 chanel: 2 canel untuk mengevaluasi elektrisitas listrik dalam otot yang diterjemahkan ke dalam respon-respon gerak syaraf otot; satu chanel untuk memonitor arus balik listrik yang ke kulit; dan satu chanel untuk memonitor besarnya peredaran darah dalam kulit dan banyaknya detak jantung dan suhu badan.
Berdasarkan elektrisitas listrik dalam otot-otot, maka ia semakin bertambah yang menyebabkan bertambahnya cengkeraman otot. Dan untuk memonitor perubahan-perubahan ini menggunakan kabel listrik yang dipasang di salah satu ujung jari tangan.
Adapun monitoring volume darah yang mengalir pada kulit sekaligus memonitor suhu badan, maka hal itu ditunjukkan dengan melebar atau mengecilnya pori-pori kulit. Untuk hal ini, menggunakan kabel listrik yang menyambung di sekitar salah satu jari tangan. Dan tanda perubahan-perubahan volume darah yang mengalir pada kulit terlihat jelas pada layar monitoryang menunjukkan adanya penambahan cepat pada jantung. Dan bersamaan dengan pertambahan ketegangan, pori-pori mengecil, maka mengecil pulalah darah yag mengalir pada kulit, dan suhu badan, dan detak jantung.
Metode dan Keadaan yang digunakan:
Percobaan dilakukan selama 210 kali kepada 5 responden: 3 laki-laki dan 2 perempuan yang berusia antara 40 tahun dan 17 tahun, dan usia pertengahan 22 tahun.
Dan setiap responden tersebut adalah non-muslim dan tidak memahami bahasa Arab. Dan percobaan ini sudah dilakukan selama 42 kesempatan, dimana setiap kesempatannya selama 5 kali, sehingga jumlah keseluruhannya 210 percobaan. Dan dibacakan kepada responden kalimat Al-Qur'an dalam bahasa Arab selama 85 kali, dan 85 kali juga berupa kalimat berbahasa Arab bukan Al-Qur'an. Dan sungguh adanya kejutan/shock pada bacaan-bacaan ini: Bacaan berbahasa Arab (bukan Al-Qur'an) disejajarkan dengan bacaan Al-Qur'an dalam lirik membacanya, melafadzkannya di depan telingga, dan responden tidak mendengar satu ayat Al-Qur'an selama 40 uji-coba. Dan selama diam tersebut, responden ditempatkan dengan posisi duduk santai dan terpejam. Dan posisi seperti ini pulalah yang diterapkan terhadap 170 uji-coba bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur'an.
Dan ujicoba menggunakan bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur'an seperti obat yang tidak manjur dalam bentuk mirip seperti Al-Qur'an, padahal mereka tidak bisa membedakan mana yang bacaan Al-Qur'an dan mana yang bacaan berbahasa Arab bukan Al-Qur'an. Dan tujuannya adalah utuk mengetahui apakah bacaan Al-Qur'an bisa berdampak fisiologis kepada orang yang tidak bisa memahami maknanya. Apabila dampak ini ada (terlihat), maka berarti benar terbukti dan dampak tidak ada pada bacaan berbahasa Arab yang dibaca murottal (seperti bacaan Imam Shalat) pada telinga responden.
Adapun percobaan yang belum diperdengarkan satu ayat Al-Qur'an kepada responden, maka tujuannya adalah untuk mengetahui dampak fisiologis sebagai akibat dari letak/posisi tubuh yang rileks (dengan duduk santai dan mata terpejam).
Dan sungguh telah kelihatan dengan sangat jelas sejak percobaan pertama bahwasannya posisi duduk dan diam serta tidak mendegarkan satu ayat pun, maka ia tidak mengalami perubahan ketegangan apapun. Oleh karena itu, percobaan diringkas pada tahapan terakhir pada penelitian perbandingan terhadap pengaruh bacaan Al-Qur'an dan bacaan bahasa Arab yang dibaca murottal seperti Al-Qur'an terhadap tubuh.
Dan metode pengujiannya adalah dengan melakukan selang-seling bacaan: dibacakan satu bacaan Al-Qur'an, kemudian bacaan vahasa Arab, kemudian Al-Qur'an dan seterusnya atau sebaliknya secara terus menerus.
Dan para responden tahu bahwa bacaan yang didengarnya adalah dua macam: Al-Qur'an dan bukan Al-Qur'an, akan tetapi mereka tidak mampu membedakan antara keduanya, mana yang Al-Qur'an dan mana yang bukan.
Adapun metode monitoring pada setiap percobaan penelitian ini, maka hanya mencukupkan dengan satu chanel yaitu chanel monitoring elektrisitas listrik pada otot-otot, yaitu dengan perangkat Midax sebagaimana kami sebutkan di atas. Alat ini membantu menyampaikan listrik yang ada di dahi.
Dan petunjuk yang sudah dimonitor dan di catat selama percobaan ini mengadung energi listrik skala pertengahan pada otot dibandingkan dengan kadar fluktuasi listrik pada waktu selama percobaan. Dan sepanjang otot untuk mengetahui dan membandingkan persentase energi listrik pada akhir setiap percobaan jika dibandingkan keadaan pada awal percobaan. Dan semua monitoring sudah dideteksi dan dicatat di dalam komputer.
Dan sebab kami mengutamakan metode ini untuk memonitor adalah karena perangkat ini bisa meng-output angka-angka secara rinci yang cocok untuk studi banding, evaluasi dan akuntabel..
Pada satu ayat percobaan, dan satu kelompok percobaan perbandingan lainnya mengandung makna adanya hasil yang positif untuk satu jenis cara yang paling kecil sampai sekecil-kecilnya energi listrik bagi otot. Sebab hal ini merupakan indikator bagusnya kadar fluktuasi ketegangan syaraf, dibandingkan dengan berbagai jenis cara yang digunakan responden tersebut ketika duduk.
Hasil Penelitian
Ada hasil positif 65% percobaan bacaan Al-Qur'an. Dan hal ini menunjukkan bahwa energi listrik yang ada pada otot lebih banyak turun pada percobaan ini. Hal ini ditunjukkan dengan dampak ketegangan syaraf yang terbaca pada monitor, dimana ada dampak hanya 33 % pada responden yang diberi bacaan selain Al-Qur'an.
Pada sejumlah responden, mungkin akan terjadi hasil yang terulang sama, seperti hasil pengujian terhadap mendengar bacaan Al-Qur'an. Oleh karena itu, dilakukan ujicoba dengan diacak dalam memperdengarkannya (antara Al-Qur'an dan bacaan Arab) sehingga diperoleh data atau kesimpulan yang valid.
Pembahasan Hasil Penelitian dan Kesimpulan
Sungguh sudah terlihat jelas hasil-hasil awal penelitian tentang dampak Al-Qur'an pada penelitian terdahulu bahwasanya Al-Qur`an memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap syaraf. dan mungkin bisa dicatat pengaruh ini sebagai satu hal yang terpisah, sebagaimana pengaruh inipun terlihat pada perubahan energi listrik pada otot-otot pada organ tubuh. dan perubah-perubahan yang terjadi pada kulit karena energi listrik, dan perubahan pada peredaran darah, perubahan detak jantung, voleme darah yang mengalir pada kulit, dan suhu badan.
Dan semua perubahan ini menunjukan bahwasanya ada perubahan pada organ-organ syaraf otak secara langsung dan sekaligus mempengaruhi organ tubuh lainnya. Jadi, ditemukan sejumlah kemungkinan yang tak berujung ( tidak diketahui sebab dan musababnya) terhadap perubahan fisiologis yang mungkin disebabkan oleh bacaan Al-Qur`an yang didengarkannya.
Oleh karena itu sudah diketahui oleh umum bahwasanya ketegangan-ketegangan saraf akan berpengaruh kepada dis-fungsi organ tubuh yang dimungkinkan terjadi karena produksi zat kortisol atau zat lainnya ketika merespon gerakan antara saraf otak dan otot. Oleh karena itu pada keadaan ini pengaruh Al-Qur`an terhadap ketegangan saraf akan menyebabkan seluruh badannya akan segar kembali, dimana dengan bagusnya stamina tubuh ini akan menghalau berbagai penyakit atau mengobatinya. Dan hal ini sesuai dengan keadaan penyakit tumor otak atau kanker otak.
Juga, hasil uji coba penelitian ini menunjukan bahwa kalimat-kalimat Al-Qur`an itu sendiri memeliki pengaruh fisiologis terhadap ketegangan organ tubuh secara langsung, apalagi apabila disertai dengan mengetahui maknanya.
Dan perlu untuk disebutkan disini bahwasanya hasil-hasil penelitian yang disebutkan diatas adalah masih terbatas dan dengan responden yang juga terbatas.

futur

Dalam hidup akan banyak ditemui bermacam jalan. Kadang datar, kadang menurun. Kadang  pula meninggi. Begitu pula dalam perjalanan dakwah. Ada saatnya para Muharrik (orang yang bergerak) menemui jalam yang lurus dan mudah. Namun tidak jarang menjumpai onak dan duri. Hal demikian juga terjadi pada muharrik. Satu saat ia memilikikondisi iman yang tinggi. Di saat lain, iapun dapat mengalami degradasi iman. tabiat manusia memang menggariskan demikian.
            Dalam salah satu haditsnya Rosulullah SAW bersabda : “hati manusia itu bisa berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Lalu sahabat bertanya, “bagaimana cara mengobatinya ya Rasulallah ?”. jawab Rasul : “Membaca Alquran dan ingat mati”. Syarah dari hadits ini mensiratkan satu hal. Iman manusia tidak konstan. Ia dapat berubah. Karena itu dalam hadits yang lain, Rosul menyuruh para sahabat dan kita sekalian untuk selalu memperbaharui iman.
            Dalam kondisi iman yang turun ini, para mutaharrik kadang terkena satu penyakit yang membahayakan kelangsungan harakah. Yaitu penyakit futur.

Makna Futur

            Secara bahasa Futur berarti putusnya kegiatan setelah kontinyu bergerak. Juga dapat berarti dalam diam setelah bergerak. Atau : malas, lamban dan santai setelah sungguh-sungguh. Penyakit futur ini menimpa orang-orang yang telah bergerak. Ia tidak menimpa orang yang tidak atau belum bergerak.
            Berjangkitnya penyakit futur pada diri muharrik dapat menimbulkan beberapa atsar (pengaruh), baik bagi diri muharrik itu sendiri maupun kepada harakah yang tengah berlangsung. Bagi para muharrik, futur menyebabkan sedikitnya simpanan taat yang dimiliki. Padahal, taat merupakan syarat bagi berlangsungnya amal yang ikhlas. Tanpa taat, sulit bagi muharrik melaksanakan program harakah yang notabene tidak pernah mengiminginya dengan balasan duniawi. Bagi harakah sendiri, futur menyebabkan panjangnya jalan yang harus ditempuh. Ini merupakan akibat logis dari tidak mustamirnya amal yang dilaksanakan. Harakah  yang tidak mustamir hanya menghasilkan bangunan islam yang juz’iyah (parsial). Bangunan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam kurun waktu tetentu, menjadi terbengkalai karena terhentinya gerak pembangunan.
            Terjadinya futur bagi muharrik, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Asal saja tidak mengakibatkan terlepasnya muharrik dari harokah dan jamaahnya. Hanya malaikat yang mampu kontinyu mengabdi kepeda Allah dengan kualitas terbaik.
Firman Allah : “dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang dilangit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisiNya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembahNya dan tidak pula mersa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada hentinya” (QS. Al-Anbiya:19-20).
Karena itu Rasulallah sering berdoa:
Artinya:”Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku akhirnya. Ya Allah,jadikanlah sebaik-baik amalku keridloan-Mu. Ya Allah,jadikahlah sebaik-baik hariku saat bertemu dengan-Mu”.

Penyebab Futur

            Walaupun futur merupakan hal yang mungkin terjadi bagi muharri, ada beberapa penyebab yang dapat menyegerakan timbulnya :



1.      berlebihan dalam din

berlebihan dalam din, dengan pemaksaan diri dalam melaksanakan ibadah, hanya mengakibatkan kelelahan fisik dan mental. Tubuh dan jiwa manusia hanya dapat memikul  beban berat untuk satu waktu tertentu. Jika ia didera untuk memikulnya, maka yang terjadi adalah pelanggaran terhadap fitrahnya sendiri. Dalam suatu hadits riwayat anas ra : Prenah datang serombongan sahabat yang terdiri dari tiga orang ke rumah Rasulullah. Mereka menanyakan perihal ibadah Rasulullah kepada istri-istri beliau. Setelah mendengarkan ketekunan ibadah Beliau, sadarlah mereka akan sedikitnya ibadah yang mereka lakukan selama ini. sehingga berkata seorang diantara mereka : “saya akan sholat sepanjang malam. Yang kedua berkata “ saya akan puasa selamanya. Yang ketiga menyambung “ saya akan menjauhi istri dan tidak akan kawin”. Mendengar itu semua, Nabi lalu mendatangi mereka. Seraya berkata : “ demi Allah saya lebih takut kepada Allah dari kamu, bahkan saya lebih bertaqwa. Namun saya berpuasa dan berbuka, saya sholat dan tidur. Juga saya kawin. Barang siapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”. (HR. Bukhari dan Muslim).
      Dalam hadits yang lain Rasul bersabda:
“ Sesungguhnya Din itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali akan dikalahkan”. (HR. Muslim )
      Karena itu, amal yang paling di sukai Allah adalah yang sedikit dan kontinyu.

2.      Belebih-lebihan dalam hal yang mubah.

Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun para sahabat sanagat menjaganya. Mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari hal yang mubah karena takut terjatuh pada yang haram. Berlebihan dalam makanan menyebabkan seseornag menjadi gemuk. Kegemukan akan memberatkan badan. Sehingga orang menjadi malas. Malas membuat seseorang menjadi santai. Dan santai mengakibatkan kemunduran. Karena itu secara keseluruhan hal ini menghalangi untuk berharakah.


3.      Memisahkan diri dari jamaah

Jauhnya seseorang dari jamaah membuatnya mudah didekati syaitan. Rasul bersabda : “ Syaitan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya”. (HR. Ahmad)
Jika syaitan telah memasuki hatinya, maka tak sungkan hatinya akan melahirkan zhon ( prasangka ) yang tidak pada tempatnya kepadajamaah dan harakah. Jika berlanjut ,hal ini menyebabkan hilangnya siqoh (kepercayaan) kepada jamaah dan harakah.
Dengan jamaah, seseorang akan selalu mendapatkan adanya kegiatanyang selalu baru. Ini terjadi karena jamaah merupakan kumpulan pribadi, yang masing-masing memilii gagasan dan ide baru. Sedang tanpa jamaah seseorang dapat terperosok kepada kebosanan yang terjadi akibat kerutinan. Karena itu imam Ali berkata : “ sekeruh-keruh hidup berjamaah, lebih baik dari bergemingnya hidup sendiri”.

4.      Sedikit mengingat akhirat

Banyak mengingat kehidupan akhirat membuat seseorang giat beramal. Selalu diingat akan adanya hisab atas setiap amalnya. Kebalikannya, sedikit mengingat kehidupan akhirat menyulitkan seseorang untuk giat beramal. Ini disebabkan tidak adanya pemacu amal berupa keinginan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah pada hari yaumul hisab nanti. Karena itu Rasulullah bersabda : “jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa”.

5.      Melalaikan amalan siang dan malam

Pelaksanaan ibadah secara tekun, membuat seseorang selalu ada dalam perlindungan Allah. Selalu tejaga komunikasi sambung rasa antara ia dengan Allah. ini membuatnya mempersiapkan kondisi ruhiyah yang baik sebagai dasar untuk berharakah. Namun sebaliknya, kelalaian untuk melaksanakan amalan, berupa rangkaian ibadah baik yang wajib  maupun sunnah, dapat membuat seseorang terjerumus untuk dikit demi sedikit merenggangkan hubungannya dengan Allah. jika ini terjadi, maka sulit baginya menjaga kondisi ruhiyah dalam keadaan taat kepada Allah. kadang hal ini juga berkaitan dengan kemampuan untuk berbicara kepada hati. Harakah yang benar, selalu memulainya dengan memanggil hati manusia, sementara sedikitnya pelaksanaan ibadah membuatnya sedikit memiliki cahaya.
      Allah berfiman : “Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) Oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. 24:40)
      Barang siapa tidak memiliki (ruh), maka ia tidak dapat memberi.

6.      Masuknya barang haram ke dalam perut

7.      Tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan.

Setiap perjuangan sunnatullaNya selalau menghadapi tantangan. Al Haq dan Al Bathil selalu berusaha untuk memperbesar pengaruhnya masing-masing. Akan selalu ada orang-orang Pendukung islam. Di lain pihak akan selalu tumbuh orang-orang pendukung hawa nafsu. Dan dalam waktu yang Allah kehendaki akan bertemu dalam suatu “fitnah”. Dalam bahasa arab, kata “fitnah” berasal dari kata yang digunakan untuk menggambbarkan proses penyaringan emas dari batu-batu lainnya. Karena itu “fitnah” merupakan sunnatullah yang akan mengenai para muharrik. Dengan “fitnah” Allah juga menyaring siapa hamba yang masuk golongan shodiqin dan siapa yang kadzib (dusta). Dan jika fitnah itu datang, sementara iatidak siap menerimanya, besar kemungkinan akan terjadi pengubahan orientasi dalam harakahanya. Dan itu membuat futur. Allah Berfiman :
“ Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka hati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS. 64:14)

8.      Bersahabat dengan orang-orang yang lemah

Kondisi lingkungan (biah), dapat menentukan kualitas seseorang. Teman yang baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Akan tumbuh suasana ta’awun dan saling menasehatkan. Sementara teman yang buruk dapat melunturkan hamazah (kemauan) yang semula telah menjadi tekad. Karena itu Rasulullah bersabda :
“Seseorang atas diri sahabtnya, hendaklah melihat salah seorang diantara kalian siapa ia berteman”. (HR. Abu Daud).

9.      Spontanitas dalam beramal

Amal yang tidak terencana – tidak memiliki tujuan sasaran dan sarana yang jelas tidak dapat melahirkan hasil yang diharapkan. Hanya akan timbul kepenatan dalam berharakah, sementara hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Karena itu setiap amal harus memiliki minhajiatul amal ( Sistematika kerja ). Hal ini akan membuat ringan dan mudahnya suatu amal.

10.  Terjatuh ke dalam kemaksiatan

      Pebuatan maksiat membuat hati tertutup dengan kefasikan. Jika kondisi ini terjadi, sulit diharapkan seorang muharrik mampu beramal untuk jamaahnya. Bahkan untuk menjaga diri sendiripun sulit.


Pengobatannya

      Untuk mengobati penyakit futur ini, beberapa ulama memberikan beberapa resep.

1.      Jauh dari kemaksiatan

      Kemaksiatan akan mendatangkan kemungkaran Allah. Dan pada akhirnya membawa kepada kesesatan. Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan –Ku menimpamu. Dan barang siapa di timpa musibah oleh kemurkaan-Ku, makabinasalah ia”. (QS. 20;81)

Jauh dari kemaksiatan akan mendatangkan hidup yang akan lebih berkah. Dengan keberkahan ini orang dapat terhindar dari penyakit futur. Allah berfirman :
“ Jikalau penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi”. (QS. 7:96)

2.      Tekun mengamalkan amalan siang dan malam

Amalan sian dan malam dapat melindungi dan menjaga muharrik untuk selalu berhubungan dengan Allah WST. Hal ini dapat menjauhkannya dari perbuatan yang tidak mendapat restu dari Allah.
Allah berfirman ;
“ Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu, ialah orang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang (mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Robb mereka”. (QS. 25:63-64).

3.      Mengintai waktu-waktu yang baik

Dalam banyak hadits rosulullah banya menginformasikan adanya waktu-waktu tertentu dimana Allah lebih memperhatikan do’a hambanya. Sepertiga malam terakhir, bulan ramadhan dan bulan dzulqoidah, zulhijjah, muharram dan rajab. Waktu-waktu itu memiliki keistimewaan yang dapat mengangkat derajat seseorang dihadapan Allah.

4.      Menjauhi hal-hal yang berlebihan.

Berlebihan dalam kebaikan bukan merupakan tindakan bijaksana. Apalagi berlebihan dalam keburukan. Allah memerintah manusia sesuai dengan kemampuannya.
            Firman Allah :
            “ Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu !”
(QS. 64:61)
Islam adalah Din tawazun (keseimbangan). Disuruhnya pemeluknya memperhatikan akhirat, namun jangan melupakan kehidupan dunia. Seluruh anggota tubuh dan jiwa mempunyai haknya masing-masing yang harus ditunaikan. Dalam ayat lain Allah berfiman :
“ Demikianlah kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (adil) dan pilihan”. (QS. 2:143).

5.      Melazimi Jamaah


“ Jamaah itu rahmat, Firqoh (pengelompokan) azad ” demikian sabda Rasulullah. Dalam hadits yang lain “Barangsiapa yang menghendaki tengahnya syurga, hendaklah ia melazimi jamaah”. Dengan jamaah seorang muharrik akan selalu berada dalam majlis dzikir dan pikir. Hal ini membuatnya selalu terikat dengan komitmennya semula. Juga jamaah dapat memberikan program dan kegiatan yang variatif. Sehingga terhindarlah ia dari kebosanan dan kerutinan.


6.      Mengenal kendala yang akan menghadang

Pengetahuan akan tabiat jalan  yang hendak dilalui serta rambu-rambu yang ada, niscaya membuat seorang muahrrik siap, minimal tidak gentar, untuk menjalani rintangan yang akan datang. Allah berfirman :
“ Dan beberapa banyak Nabi yang berpernag bersama mereka sebagian besar karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak pula lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang orang yang sabar”. (QS. 3:146)

7.      Teliti dan Sistematik dalam kerja.

Dengan perencanaan yang baik, Pembagian tugas yang jelas, serta kesadaran akan tanggung jawab yang diemban, dapat membuat harakah menjadi harakatunnatijah (harakah yang berhasil). Perencanaan akan menyadarkan muaharrik, bahwa jalan yang ditempuh amat panjang. Tujuan yang akan dicapai amat besar. Karena itu juga dibutuhkan waktu, amal dan percobaan yang besar. Jika ini semua telah dimengerti insaya Allah akan tercapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.

8.      Memilih teman yang shalih

9.      Menghibur diri dengan hal yang mubah

Bercengkerama dengan keluarga, mengambil secukupnya kegiatan rekreatif sertamemeberikan hak badan secara cukup mampu membuat diri menjadi segar kembali untuk melanjutkan amal yang sedang dikerjakan.

10.  Mengingat mati, syurga dan neraka


11.  Muhasabah (menghisab) diri

ACEH, NUSANTARA, DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

Indonesia, yang dulu dikenal dengan istilah Nusantara, merupakan negeri Muslim terbesar di dunia Islam. Jauh sebelum merdeka dari penjajahan fisik (militer) dan menjadi sebuah negara Indonesia, di wilayah Nusantara telah berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam yang berbentuk kesultanan. Mulai dari kesultanan Aceh yang terletak di ujung barat, hingga kesultanan Ternate di ujung timur.

Berbagai catatan sejarah membuktikan bahwa kesultanan-kesultanan Islam tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sangat erat dengan Kekhilafahan Islam, khususnya Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas beberapa bukti sejarah yang menggambarkan hubungan kesatuan antara kesultanan-kesultanan Islam di wilayah Nusantara dengan Khilafah Islamiyah.

Pengakuan Nusantara terhadap Khilafah Islamiyah


Pengaruh keberadaan khalifah terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya kekhilafahan (baca: Daulah Islamiyah). Keberhasilan umat Islam melakukan futuhat terhadap Kerajaan Persia dan menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Siria, dan Palestina, di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Daulah Islamiyah sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M. Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara -yang masih beragama Hindu sekalipun– mengakui kebesaran khilafah.

Pengakuan terhadap kebesaran khalifah dibuktikan dengan adanya dua pucuk
surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada khalifah masa Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.1 Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan kepada Al-Haytsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….”
2

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al-Iqd Al-Farid. Potongan
surat tersebut sebagai berikut:

“Dari Raja di Raja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.”
3

Selain itu, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni yang dibawa Huseyn Effendi. Dalam
surat ini, Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini juga berisi laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.4

Sulayman Al-Qanuni wafat tahun 974 H/1566 M. Akan tetapi petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Selim II (974-982 H/1566-1574 M), yang mengeluarkan perintah kesultanan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975 H/1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan.
5 Namun dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 979 H/1571 M.6 Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 M sebanyak 500 orang, termasuk ahli-ahli senjata api, penembak, dan ahli-ahli teknik. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568 M.7

Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya disambut dengan suka cita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai gubernur (wali) Aceh,
8 yang merupakan utusan resmi khalifah yang ditempatkan di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah bukanlah sebatas hubungan persaudaraan melainkan hubungan politik kenegaraan. Adanya wali Turki di Aceh lebih mengisyaratkan bahwa Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari Khilafah Islamiyah.

Di sisi lain, banyak institusi politik melayu di Nusantara mendapatkan gelar sultan dari penguasa-penguasa tertentu di Timur tengah. Pada tahun 1048H/1638 M, Penguasa Banten, Abd al-Qodir (berkuasa 1037-1063H/1626-1651) dianugerahi gelar sultan oleh Syarif Makkah sebagai hasil dari misi khusus yang dikirimnya untuk tujuan itu ke Tanah Suci. Sementara itu, kesultanan Aceh terkenal mempunyai hubungan erat dengan penguasa Turki Ustmani dan Haramayn. Begitu juga
Palembang dan Makasar yang turut menjalin hubungan khusus dengan penguasa Makkah9. Pada saat itu, para penguasa Makkah merupakan bagian tak terpisahkan dari Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki.

Dilihat dari penggunaan istilah, kesultanan Islam di Nusantara mengasosiasikan dirinya tak terpisahkan dari kekhalifahan. Beberapa kitab Jawi klasik menyebut hal ini. Hikayat Raja-raja Pasai (hal. 58, 61-62, 64), misalnya, menyebut nama resmi kesultanan Samudea Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah Dar al-Islam juga digunakan kitab Undang-undang Pahang untuk menyebut kesultanan Pahang. Adapun Nur al-Din al-Raniri, dalam Bustan al-Salatin (misalnya, pada hlm. 31, 32, 47), menyebut kesultanan Aceh sebagai Dar al-Salam. Istilah ini juga digunakan di Pattani ketika penguasa setempat, Paya Tu Naqpa, masuk Islam dan mengambil nama Sultan Ismail Shah Zill Allah fi-Alam yang bertahta di negeri Pattani Dar al-Salam (Hikayat Patani, 1970:75).

Dalam ilmu politik Islam klasik, dunia ini terbagi dua, yaitu Dar al-Islam dan Dar al-Harb. Dar al-Islam merupakan daerah yang diterapkan hukum Islam dan keamanannya ada pada tangan kaum Muslim. Sedangkan Dar al-Harb adalah lawan kata dari Dar al-Islam. Penggunaan istilah “Dar al-Islam” atau “Dar al-Salam” menunjukkan bahwa para penguasa Melayu Nusantara menerima konsepsi geopolitik Islam tentang pembagian dua wilayah dunia itu. Konsep geopolitik ini semakin mengkristal ketika bangsa-bangsa Eropa —dimulai oleh “bangsa Peringgi” (Portugis) yang kemudian disusul bangsa-bangsa Eropa lainnya, khususnya Belanda dan Inggris— mulai merajalela di kawasan Lautan
India dan Selat Malaka (Sulalat al-Salatin, 1979:244-246). Mereka melakukan penjajahan fisik dan menyebarkan agama Kristen melalui missi dan zending.

Khilafah Turki Utsmani, seperti disebutkan oleh Hurgronje (1994, halaman 1631)
10, bersifat pro-aktif dalam memberikan perhatian kepada penderitaan kaum Muslim di Indonesia dengan cara membuka perwakilan pemerintahannya (konsulat) di Batavia pada akhir abad ke-19. Kepada kaum Muslim yang ada di Batavia para konsul Turki berjanji akan memperjuangkan emansipasi hak-hak orang-orang Arab sederajat dengan orang-orang Eropa. Selain itu, Turki juga akan mengusahakan agar seluruh kaum Muslim di Hindia Belanda terbebas dari penindasan Belanda.

Lebih dari semua itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan utusannya ke Aceh seorang ulama bernama Syekh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballigh. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syekh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli.
11

Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah untuk menduduki jabatan Kadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdul Rauf menerima tawaran tersebut.12 Karena itu, ia resmi menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-Adil. Selanjutnya sebagai seorang Qadi, Abd Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qaanun) penerapan syariat Islam.
13 Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.

Berbagai kenyataan sejarah tadi lebih menegaskan adanya pengakuan dan hubungan erat antara Aceh dan Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah. Bahkan, bukan sebatas hubungan persaudaraan atau pertemanan melainkan hubungan ‘kesatuan’ sebagai bagian tak terpisahkan dari Khilafah Utsmaniyah (Dar al-Islam).

Penjaga Perjalanan Haji Nusantara


Keberadaan Turki Utsmani sebagai khilafah Islam, terutama setelah berhasil melakukan futuhat atas Konstantinopel, ibu
kota Romawi Timur, pada 857 H/1453 M, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.”14 Istilah “Rum” tersebar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.15

Kekuatan politik dan militer Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani ditempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis. Pada 954 H/1538 M, Sultan Sulayman I (berkuasa 928 H/1520-1566 M) mengirim armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulayman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.
16

Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia. Kehadiran angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan kontribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji. Pada saat yang sama Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16.
17

Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan di Istanbul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut:

“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di
sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insyaallah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”18

Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941 H/1534 M, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.

Bentuk-bentuk Hubungan


Portugis terus meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke Timur Tengah melainkan juga ke Samudera
India. Raja Portugis Emanuel I terang-terangan menyampaikan tujuan utama ekspedisi tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”19. Khilafah Utsmaniyah pun tidak tinggal diam. Pada tahun 925H/1519 M, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada ‘Utsmani’ untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini tentu saja sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.20

Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia.
21 Pasukan Turki sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan Al-Kahhar untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.22

Seorang sejarawan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futuhat terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.
23 Bahkan, Turki Utsmani membangun akademi militer di Aceh bernama ‘Askeri Beytul Mukaddes’ yang diubah menjadi ‘Askar Baitul Makdis’ yang lebih sesuai dengan dialek Aceh. Pendidikan militer ini merupakan pusat yang melahirkan para pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia24. Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.

Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke
Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.25 Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.26

Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti Al-Qahhar Kedua yakni Sultan Mansyur Syah (985-998 H/1577-1588 M) memperbaharui hubungan politik dan militer dengan Utsmani.
27 Hal ini dibenarkan sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993 H/1585 M, melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Utsmani untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan offensif baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.28

Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari
Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton.29 Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang mengganggu wilayah-wilayah muslim di Nusantara.30 Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Turki sebagai bantuan kekhilafahan tersebut terhadap Aceh.31

Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (1016-1046 H/1607-1636 M) mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istanbul setelah dua setengah tahun pelayaran melalu Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata,
12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Utsmani tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas pakar militer itu disebut sebagai pahlawan di Aceh. Mereka juga dikatakan begitu ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda, tidak hanya dalam membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga dalam membangun istana kesultanan.32

Dampak dari keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang Portugis di Lautan Hindia tersebut amat besar. Diantaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan jalan-jalan menuju haji; kesinambungan pertukaran barang-barang India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; serta kesinambungan jalur-jalur bisnis antara India dan Indonesia dengan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah
33.

Hubungan beberapa kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki nampak jelas. Misalnya, Islam masuk Buton (Sulawesi Selatan) abad 16M. Silsilah Raja-Raja Buton menunjukkan bahwa setelah masuk Islam, Lakilaponto dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din (penegak agama) yang dilantik oleh Syekh Abd al-Wahid dari Makkah. Sejak itu, dia dikenal sebagai Sultan Marhum. Sejak itu pula nama sultan dipuja dalam khuthbah Jum’at. Menurut sumber setempat, penggunaan gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang menyebutkan dari penguasa Makkah). Dan Syekh Wahid pula yang mengirim kabar (tentang hal ini, pen.) kepada Sultan Rum (Khalifah) di Turki
34. Realitas ini menunjukkan bahwa Makkah berada dalam kepemimpinan Turki, dan Buton memiliki hubungan ‘struktural’ dalam bentuknya yang masih sederhana dengan Khilafah Turki Utsmani melalui perantaraan Syekh Wahid dari Makkah.

Sementara itu, di wilayah yang saat ini disebut Sumatera Barat, Penguasa Alam Minangkabau yang menyebut dirinya sebagai “Aour Allum Maharaja Diraja” dipercaya merupakan adik laki-laki sultan Ruhum (Rum). Orang Minangkabau percaya bahwa penguasa pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Utsmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut
35. Hal ini memberikan informasi bahwa kesultanan tersebut memiliki hubungan dengan Khilafah Utsmaniyah.

Disamping ada kesultanan di Nusantara (
Indonesia) yang berhubungan langsung dengan Khilafah Utsmaniyah, ada pula beberapa kesultanan yang berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui kesultanan lainnya, misalnya, kesultanan Ternate. Pada tahun 1570-an, saat perang Soya-soya melawan Portugis, sultan Ternate, Baabullah, dibantu oleh para sangaji dari Nusa Tenggara yang terkenal dengan armada gurap dan Demak dengan laskar Jawanya. Begitu juga Aceh dengan armada maritim yang perkasa berkekuatan 30.000 kapal perang telah memblokir pelabuhan Sumatera dan memblokade pengiriman bahan makanan, amunisi Portugis lewat jalur India dan Selat Malaka. Musuh Ternate berarti musuh Demak36.

Berdasarkan beberapa realitas ini terlihat bahwa kesultanan Islam di Nusantara memiliki hubungan dengan Khilafah Utsmaniyah. Bentuk hubungan tersebut berupa perdagangan, militer, politik, dakwah, dan kekuasaan.

Respon Kaum Muslim Indonesia atas Penyatuan Umat


Di saat Khilafah Islamiyah berada pada masa sulit, di mana beberapa daerahnya mulai hendak diduduki oleh kaum penjajah, muncullah upaya untuk terus mengokohkan persatuan Islam yang dimotori oleh Sultan
Abdul Hamid II. Beliau menyatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini.”37 Inilah gagasan yang kelak dikenal sebagai Pan-Islamisme. Upaya penguatan kesatuan Islam pun sampai ke Indonesia (Hindia Belanda).

Snouck Hourgronje, penasihat kolonial Belanda, senantiasa menyampaikan informasi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda bahwa ada usaha gerakan pan-Islamisme untuk membujuk raja-raja dan pembesar-pembesar Hindia Belanda (kaum Muslim) untuk datang ke Istana Sultan
Abdul Hamid II di Istambul. Tujuan jangka pendek yang ingin dicapainya di Batavia, lanjut Snouck, adalah mendapatkan persamaan status orang-orang Arab dan kemudian untuk semua orang Islam sederajat dengan orang-orang Eropa. Jika tujuan sudah tercapai maka orang-orang Islam tidak sukar lagi mendapat kedudukan yang lebih tinggi dari orang Eropa, yang kemudian bahkan bisa memojokkan mereka sama sekali. Pemerintah kolonial Hindia Belanda amat khawatir bila kaum Muslim tahu bahwa Sultan Abdul Hamid II menyediakan beasiswa untuk pemuda Islam. Atas biaya Sultan Abdul Hamid II, mereka dapat masuk sekolah-sekolah yang paling tinggi untuk menerima pendidikan ilmiah dan menemukan kesadaran yang mendalam tentang superioritas setiap muslim atas orang-orang kafir, kesadaran dan kehinaan yang mendalam yang tidak harus mereka terima dengan membiarkan diri mereka diperintah oleh orang kafir itu. Jika mereka telah menyelesaikan studinya dan telah melakukan ibadah haji ke Makkah, mereka diharapkan dapat berperan dalam menumbuhkembangkan pemikiran Islam di daerah mereka38.

Upaya pengokohan penyatuan ini terus dilakukan. Hingga tahun 1904 telah ada 7 sampai 8 konsul (‘utusan’ pen.) yang pernah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda
39. Diantara aktivitas para konsul ini adalah membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan pencetakan karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istambul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman judulnya menyebut “Sultan Turki Raja semua orang Islam”40. Istilah Raja di sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan semua orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa kaum Muslim sedunia. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus berupaya untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk melalui penyebaran al-Quran.

Sebagai respon terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah ini, di Hindia Belanda terdapat beberapa organisasi pergerakan Islam di Hindia Belanda yang mendukung gerakan tersebut. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara organisasi tersebut adalah Jam’iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Hindia Belanda dimuat dalam surat-surat kabar dan majalah di Istambul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah
Abdul Hamid II yang tinggal di Istambul pun pernah mengirimkan utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan tersebut untuk menyelidiki keadaan kaum Muslim di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan pelarangan bagi orang-orang Arab mendatangi beberapa daerah tertentu41.

Organisasi pergerakan Islam lain yang muncul sebagai respon positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Peristiwa dikibarkannya bendera Turki Utsmani pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan, menunjukkan hal tersebut. Pada masa itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Ustmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan mengatasnamakan khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk
Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa. Di antara seruan tersebut adalah:

“Wahai saudara seiman, perhatikanlah berapa negara lain menjajah dunia Islam.
India yang luas dan berpenduduk seratus juta muslim dijajah oleh sekelompok kecil musuh dari orang-orang kafir Inggris. 40 juta muslim jawa dijajah oleh Belanda. Maroko, Al-Jazair, Tunisa, Mesir dan Sudan menderita dibawah cengkraman musuh Tuhan dan Rasul-Nya. Juga Kuzestan, berada dibawah tekanan penjajah musuh iman. Persia yang dipecah-belah. Bahkan tahta khilafah pun, oleh musuh-musuh Tuhan selalu ditentang dengan segala macam cara”42.

Realitas ini memberikan gambaran bagaimana khilafah Utsmaniyah memberikan dukungan dan bantuan kepada kaum Muslim Indonesia serta memandangnya sebagai satu kesatuan tubuh, bahkan menyerukan untuk membebaskan diri dari penjajah musuh iman. Dalam hal ini kaum Muslim memberikan respon positif terhadap upaya pengokohan kesatuan umat Islam sedunia tersebut.

Respon kaum Muslim Indonesia atas keruntuhan Khilafah Utsmaniyah


Pada tanggal 3 Maret 1924, Mustafa Kamal la’natullahu ’alaih memutuskan untuk melakukan pembubaran Khilafah yang disebutnya sebagai “bisul sejak abad pertengahan”
43. Pada pagi hari 1924, diumumkan bahwa Majelis Nasional telah menyetujui penghapusan Khilafah dan pemisahan agama dari urusan-urusan negara. Malamnya, Khalifah pun diusir secara paksa oleh kesatuan polisi dan militer44. Secara resmi, runtuhlah Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924 tersebut.

Penghancuran kepemimpinan umat Islam sedunia tersebut mengguncang seantero alam, termasuk
Indonesia. Sebagai respon terhadap keruntuhan Khilafah, sebuah Komite Khilafah didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres kekhilafahan di Kairo45. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan kongres Al-Islam Hindia ketiga di Surabaya tanggal 24-27 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofd bestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini dihadiri pula oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Indonesia. Keputusan penting Kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam46. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H.A. Wahab dari kalangan tradisi.47

Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, K.H.A. Wahab dan tiga penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama kaum tua dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sepakat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan dua maksud, yaitu pertama untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu, dan kedua, untuk berseru kepada Ibnu Su’ud penguasa baru di tanah Arab agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan
48. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama (NU) pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama49. Sekalipun terdapat beda pendapat, akan tetapi kalangan Muhammadiyah dan Sarikat Islam maupun kalangan NU sama-sama memberikan perhatian besar terhadap keruntuhan khilafah Islamiyah dan memandangnya sebagai persoalan utama kaum Muslim.

Sikap ini lahir dari keyakinan bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim. Umat Islam
Indonesia saat itu memandang Sultan Turki sebagai Khalifah50. Di antara tokoh Indonesia dari Sarikat Islam, HOS Cokroaminoto, menyatakan bahwa khalifah bukan semata-mata untuk umat Islam di jazirah Arab, tetapi juga bagi umat Islam Indonesia. Ditegaskannya pula bahwa khalifah merupakan hak bersama sesama muslim dan bukan dominasi bangsa tertentu51. Lebih tegas lagi, Cokroaminoto juga menyatakan selain dua kota suci Makkah-Madinah, khalifah adalah milik umat Islam sedunia. Ia menyarankan untuk mengirimkan utusan ke Kongres. Tujuannya untuk “mempertoendjoekan moeka terhadap oemat Islam sedoenia”, dan “melakoekan segala oesaha jang ditimbang bergoena bagi oemat Islam di negeri kita”. Di samping itu, mencari keterangan mengenai kelanjutan pemilihan khalifah52. Bahkan, beliau menganalogikan umat Islam laksana suatu tubuh. Karenanya, bila umat Islam tidak memiliki khalifah maka “seolah-olah badan tidak berkepala”53.

Penutup


Berdasarkan beberapa catatan sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa kesultanan Islam di Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan Khilafah Utsmaniyah. Bahkan bukti-bukti tersebut menggambarkan kesultanan Islam di Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari Khilafah Islamiyah.

Hanya saja, disaat kekuatan Khilafah Utsmaniyah mulai melemah, penjajah kafir Barat (Inggris) melalui agennya, Mustafa Kamal, berhasil meruntuhkannya. Akibatnya, institusi pemersatu kaum Muslim sedunia itu pun lenyap dan wilayah negeri-negeri Muslim pun terpecah belah di bawah kekuasaan penjajah.

Sementara di Indonesia sendiri, pasca penjajahan secara fisik (militer), beberapa tokoh yang ingin membangun
Indonesia berdasarkan sistem politik Islam, juga mengalami kegagalan akibat adanya ‘pengkhianatan’. Walhasil, Indonesia pun menjadi sebuah negara yang ‘merdeka’ atas dasar sekularisme dan nasionalisme. Hal ini menjadikan perpecahan negeri-negeri Muslim terus berlanjut dan menjadikan kaum Muslim tetap dalam kondisi lemah.

Merujuk pada kenyataan sejarah yang ada, tampak jelas bahwa upaya menyatukan kaum Muslim di berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia, atas dasar Islam merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Bagi kaum Muslim Indonesia, perjuangan untuk melanjutkan kehidupan Islam dan menyatukan negeri Islam dalam kekhilafahan bukan semata-mata wujud ketaatan kepada perintah Allah SWT. Aktivitas tersebut sesungguhnya juga merupakan upaya untuk meneruskan sejarah, di samping upaya untuk melanjutkan perjuangan para Sultan dan Ulama Saleh terdahulu yang telah mempersatukan Nusantara dengan Khilafah Islamiyah. Sebaliknya, penentangan terhadap upaya ini merupakan wujud pengingkaran terhadap sejarah
Indonesia, di samping pengingkaran terhadap perintah Allah SWT. [hizbuththarir]

Catatan Kaki :


[1] Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia (
Iran) Pada Masa Lampau (Abad VII-XVII M) daan Dampaknya terhadaap Beberapa Unssur Kebudayaan” Jauhar Vol. 1, No. 1, Desember 2000 hal. 32.

2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Edisi Revisi (
Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 27-28. 3Ibid. hal. 28

4 Farooqi, “Protecting the Routhers to
Mecca,” hal. 215-6, dikutip dari Ibid hal. 44.

5 Metin Innegollu, “The Early Turkish-Indonesian Relation,” dalam
Hasan M. Ambary dan Bachtiar Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Reflkesi Budaya Nusantara, (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda, tt), hal. 54.

6 Azyumardi Azra, op.cit. hal. 44

7 Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional
Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 54.

8 Metin Innegollu, op.cit. hal. 54

9 Azyumardi Azra, Renaisans Islam
Asia Tenggara ; Sejarah wacana dan kekuasaan. (Bandung : Rosda, 1997), hal. 116-118).

10Snouck Hurgronje, 1994, Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda; 1889 –1936. (
Jakarta : INIS), hal. 1631.

11 Peunoh Daly, ‘Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah dalam Naskah Mir’at al-Tullab Kaarya Abd Raauf Singkel,” Disertasi Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (
Jakarta, 1982). Hal. 15-16.

12 Ibid. hal. 32

13 Ibid hal. 36

14Para khalifah Turki Ustmani sering disebut sebagai “Sultan Rum” karena menduduki Konstantinopel yang merupakan bekas Kerjaaan Romawi Timur. Ini merupakan hasil wawancara tim Hizbut Tahrir
Indonesia dengan Prof.Dr. Uka Tjandrasasmita, Selasa, 11 Januari 2005.

15Azyumardi Azra, 2004, op.cit. hal. 36.

16 Ibid hal. 38

17 Ibid. hal. 36

18 Saleh Obazan, dikutip dari Azyumardi Azra, op.cit. hal. 40-41.

19 Dr. Yusuf ats-Tsaqafi, Mawqif Uruba min ad-Daulat al-Utsmaniyyah, hal. 37.

20 Saleh Obazan, op.cit. hal. 41

21 Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), op.cit. hal. 33.

22 Azyumardi Azra, op.cit. hal. 42.

23 Lukman Thaib, “Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict,” Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hal. 106

24 Metin Inegollu (the Ambassador of
Turkey), The early Turkish-Indonesian Relations, Aceh dalam restrospeksi dan refleksi budaya Nusantara (Editor Hasan Muarif Ambary dan Bachtiar Aly), Informasi Taman Iskandarmuda (INTIM), Jakarta, tt, hal. 53-55.

25 Ibid, hal. 53.

26 Azyumardi Azra, op.cit. hal.. 43-44.

27 H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hal. 272-77; lihat juga, op.cit. hal. 44.

28Azyumardi Azra, op.cit. hal. 44-45.

29 Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hal. 56.

30Ibid. hal. 96.

31 Ibid. hal. 257.

32Azyumardi Azra, op.cit. hal. 45.

33 Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Terj.), Pustaka Al Kautsar, tahun 2003, hal. 258-259.

34 Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, INIS Jakarta, tahun 1995, hal. 10.

35 W. Marsden, The History of Sumatra, London: Thomas Paine & Sons, 1783, 272, 283 dikutip oleh Ayzumardi, 2004, op.cit. hal. 33.

36 RZ. Leirissa, Shalfiyanti, dan Restu Gunawan, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Ilham Bangun Karya, tahun 1999, hal. 59-60.

37 Mudzkirat as-Sulthan
Abdul Hamid ats-Tsani, Pengantar oleh Dr. Muhammad Harb, Dar al-Qalam, 1412H/1991M, hal. 23.

38Hamid Al-Gadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan melawan Belanda, tahun1996, Mizan Bandung, hal. 132-152.

39 Snouck Hurgronje, op.cit. hal. 1691.

40 Ibid, hal. 1740.

41 Abu Bakar Atjeh, Salaf, Gerakan Salaf di Indonesia. Pertama, Jakarta, hal. 103-104.

42 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, tahun 1991, LP3ES
Jakarta, hal. 81-82, dan 219.

43 Muhammad Zahid Abdul Fattah Abu Ghuddah, at-Tarikh al-Utsmaniy fi Syi’ri Ahmad Syauqi, Dar al-Raid Kanada, Cet. I, tahun 1417H/1996M, hal. 110.

44 Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Terj.), Pustaka Thariqul ‘Izzah, tahun 2001, hal. 183.

45 Bandera Islam, 16 Oktober 1924

46 Bandera Islam, 8 Februari 1925. Lihat juga Deliar Noer, Gerakan modern Islam di Indonesia 1900-1942, tahun 1973, LP3ES
Jakarta, hal. 242.

47 Hindia Baroe, 9 Januari 1925.

48 Deliar Noer, ibid. hal. 242.

49 Ibid, hal. 243.

50 Ibid, hal. 242.

51 Hindia Baroe, 9 Februari 1926.

52 Bintang Islam, bundel tahun 1927, hal. 19.

53 Hindia Baroe, 15 Januari 1926.

Catatan: Peringatan 81 tahun runtuhnya Khilafah Islamiyah di Turki, 3 Maret 1924 ......

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...