selamat berjihad kawan-kawan PII senusantara.. lahirkan kader-kader pemersatu ummat pejuang syariah.. semoga training liburan ini sukses..

Sabtu, 23 April 2011

TERDOKTRIN DALAM DIAM

Kata-kata adalah media transformasi informasi paling populer antar persona. Tapi ternyata kata-Kata adalah sarana paling terbatas untuk menginformasikan pesan.

Sufi punya pengalaman yang luarbiasa dalam kondisi fanaa. Namun ketika mereka ingin menyampaikan apa yang mereka rasakan, ternyata mereka menemukan kata-kata dalam bahasa ternyata sangat terbatas. Mau tidak mau sufi harus menggunakan sarana yang sangat terbatas itu meskipus nyatanya penggunaan kata-kata untuk menginformasikan pengalaman mistik sufi telah banyak mendeskriminasi dengan cara mereduksi  pengalaman mistik luarbiasa yang mereka rasakan.

Seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang pemudi tidak mampu memberi alasan kenapa dia mencintai. Ketika dipaksakan mengungkapkan alasan maka dia akan mereduksi apa yang ia sedang alami dan rasakan. Misalnya dia memberi alasan mencinta si pemudi karena kulinya kuning langsat, karena hidungnya mancung dan badannya langsing. Sebenarnya alasan-alasan yang dikemukakan itu hanyalah alasan-alasan simbolis untuk melambangkan atau mewakilkan rasa cintanya. Meskipun boleh jadi kulit, hidung dan postur tubuh si pemudi tidak berhubungan sama-sekali dengan cinta yang ia rasakan.

Ketika filsuf harus membahasakan penemuan pemikirannya, mereka akan menggunakan istilah-istilah yang sangat asing dan susah dimengerti masyarakat awam.

Filsafat mencapai muaranya pada tangan Nietzsche. Dia memiliki kesulitan yang besar untuk membahasakan filsafatnya sehingga dia memilih jalur sastra sebagai media transformasi pemikiran filosofisnya yang sangat mendalam. Namun ketika aliran sungai itu mendekati bibir samudra, maka Nietzsche memilih bungkam karena kata-kata tidak mampu magi menampung isi gagasannya.

Banyak sufi memilih diam merenungkan keindahan pengalaman mistinya. Diam mereka anggap lebih baik daripada mengkomunikasikannya melalui bahasa sebab tidak ingin mereduksi keindahan pengalamannya kedalam kata-kata. Mereka takjub dalam keheningan.

Dalam diam, tidak ada yang distorsasi. Lihatlah bagaimana Ikal mampu menangkap seluruh pesan dari ayahnya melalui diam. Menjelang hari tua, Habibi dan Ainun lebih sering berkomunikasi dalam diam. Aku pula membaca pesan, nasihat dari ayahku melalui diamnya. Dengan melihat raut wajahnya aku paham isi hatinya tanpa harus ayah mereduksikan pesannya melalui kata-kata. Aku terdoktrin melalui diam.

Nabi Basar adalah sosok yang berbeda. Beliau adalah makhluk Allah yang paling berpengetahuan dan berwawasan luas. Bila ahli Astronomi baru mengetahui beberapa hal mengenai galaksi, maka Nabi bahkan telah pergi mengunjungi Sidratul Muntaha. Namun Nabi besar mampu untuk komunikatif dengan ummatnya yang dianggap jihiliyah. Nabi mampu memberi penjelasan sesuai batas nalar ummatnya meski pengetahuan beliau jauh lebih luas daripada mereka.

Nabi memiliki ilmu paling tinggi melebihi filsuf dan sastrawan, namun beliau mampu menyampaikan pesan besarnya kepada masyarakat yang paling rendah nalarnya sekalipun. Nabi Besar patut dijadikan contok sosok yang paling mampu mengobjektiivikasi konsep besar yang beliau bawa kepada masyarakat yang berbanding lurus dari konsep yang beliau bawa.

 Miswari : Kabid Eksternal PB PII

Mentra 58, 22 April 2011

DAKWAH ADALAH CINTA


Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai.
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah.
Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak.
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.
Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik?
Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.
Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.
Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.
Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi.
Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.
Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..
Karena itu kamu tahu. Pejuang yang heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar.
Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “
Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta… Mengajak kita untuk terus berlari…

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”
(alm. Ust Rahmat Abdullah)
Kalau iman dan syetan terus bertempur. Pada akhirnya salah satunya harus mengalah.

( anonymous )

Jumat, 22 April 2011

PEMBENARAN, BUKAN KEBENARAN .

Kalau Allah mau, Dia akan mejadikan kita ummat yang satu. Namun Dia sengaja melahirkan kita dengan pemikiran yang berbeda agar dimamika menjadikan kita berkompetisi secara sehat agar kita terus mengimprifisasi diri.

Tidak ada manusia kecuali Nabi dan Rasul yang memperoleh kebenaran dari hasil perenungannya. Perenungan menghasilkan kesimpulan atau pemahaman yang berbeda. Selanjutnya sebelm dan setelah perenungan, kita memang mengakui mencari kebenaran di Alam dan pada kitab suci. Namun sebenarnya dari kedua sumber tadi yang kita cari adalah pembenaran.

Perenungan yang murni dan jujur sekalipun akan melahirkan ide dan gagasan yang berbeda karena ide dan gagasan yang murni itu datangnya dari Allah juga.

Oleh sebab itu lahirlah perbedaan mazhab dalam fikih, perbedaan aliran dalam Teologi dan dinamisnya ide filosof.

Karena itu Nabi Besar mengatakan perbedaan diantara kita adalah rahmat. Rahmat yang dapat menginprofisasi kita bila secara lebih sering dan terus menerus direnungkan.

Mentra 58, 18 April 201
Miswari : Kabid Eksternal PB PII

APAKAH KITA BUTUH MILITER ??

Martin Wolf, orang Yahudi penulis Globalisasi, mengatakan dalam sistem globalisasi, militer tidak boleh mengurusi bisnis. Militer harus konsenterasi pada pengamanan korporasi dan negara yang memperoleh pajak dari korporasi harus meningkatkan kelengkapan fasilitas serta kesejahteraan militer.

Militer kita seolah-olah makhluk asing yang tiba-tiba berhadapan dengan masyarakat lalu bentrok. Persis seperti "bentrok" antara harimau dengan manusia yang suka terjadi di pedalaman Sumatera.

Militer melupakan peran dan fungsinya untuk melindungi kadaulatan bangsa. Kedaulatan bangsa itu sendiri adalah rakyatnya. Selanjutnya adalah air dan tanahnya. Sekarang militer tidak melindungi apapun dari elemen kadaulatan bangsa. Demi melindungi korporasi mereka rela menembaki rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Air dan tanah digerogoti asing mereka diami. Ada warga yang disandera perompak di negeri orang, mereka tidak berani berbuat apa-apa.

Akibat pengaruh konsep globalisasi Martin Wolf si Yahudi, hak militer untuk mengelola usaha perlahan dilucuti. Ini membuat mereka semakin terkesan asing sebagai bagian dari warga negara. Di samping itu penaikan anggaran dana pertahanan tidak membuat militer kita semakin kuta dan berani melindungi kadauatan bangsa. Mereka hanya semakin berani kepada rakyat sipil biasa yang tidak punya apa-apa. Kenaikan anggaran hanya membuat mereka terlihat semakin jagoan di mata anak-anak saja.

Kalau denmikian adanya, kita semua, rakyat Indonesia, perlu bertanya: apakah kehadian militer di tengah-tengah kita telah membuat kita merasa aman. Atau sebaliknya? Bila yang terjadi sebaliknya, apakah kita butuh militer?

Mentra 58, 19 April 2011
Miswari : Kabid Eksternal PB PII

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...