selamat berjihad kawan-kawan PII senusantara.. lahirkan kader-kader pemersatu ummat pejuang syariah.. semoga training liburan ini sukses..

Minggu, 24 Oktober 2010

Masyarakat Pembunuh Pemimpin

Oleh : M. Ridha
Ketua Umum PB PII Periode 2010-2012

Sistem pemilihan lansung dalam prosedur demokrasi terkini di Indonesia memiliki kontribusi dalam pelemahan sistem sosial masyarakat. Selain gampang dibajak oleh money politic, pemilihan lansung telah melemahkan kepemimpinan social.

Pemilihan lansung di Indonesia adalah buah dari reformasi 1998. Monopoli kekuasaan selama 32 tahun di zaman orde baru, diganti dengan system yang dianggap lebih menjamin tersampaikannya suara rakyat. Secara sederhana memang bisa diterima oleh akal fikiran kita bahwa ketika rakyat memilih lansung nama pemimpin, hasilnya adalah kemenangan suara rakyat. Namun, didalam praktiknya terjadi kerumitan proses, sehingga suara rakyat diperalat.

Memilih pemimpin adalah proses politik. Disebut proses politik karena didalamnya terdapat unsur kekuasaan (power) dan kebijakan (policy). Rakyat memberikan kuasa, yang seharusnya menjadi miliknya, kepada orang lain demi kepentingan hidup bersama. Dengan kuasa yang telah diberikan oleh rakyat inilah, pemimpin menjalankan kepemimpinannya; menentukan arah hidup kelompok, melindungi kehidupan kelompok, menjalankan aturan, dan lainnya. Boleh dikatakan bahwa rakyat telah mempertaruhkan sebagian jalan hidupnya kepada sang pemimpin. Suatu proses yang selayaknya harus dijalankan dengan tidak sembrono.

Pemilihan lansung di negara kita saat ini terjadi dalam kondisi masyarakat yang belum terdidik secara politik. Berbagai fenomena politik uang, politik dinasti, politik citra, dan deviasi politik lainnya mendominasi regenerasi kepemimpinan di berbagai level. Dari pemilihan presiden sampai pemilihan lurah, bahkan pemilihan RT. Modal sebagai calon presiden ataupun jabatan lainnya yang dipilih secara lansung, bagi siapapun akan mudah mengukur bahwa, tidak akan pernah impas jika diharapkan pengembaliannya dari pendapatan gaji dan atau tunjangannya. Dengan demikian, suburlah korupsi. Korupsi dan politik uang adalah ibarat dua sisi mata uang.

Politik dinasti, yang menunjuk pada kasus-kasus pemilihan pejabat eksekutif maupun legislatif yang berasal dari sebuah keluarga, adalah deviasi yang juga meresahkan. Seseorang dipilih karena memiliki hubungan keluarga dengan tokoh atau pemimpin yang sudah teruji kepemimpinannya. Sederhananya, kalau seseorang adalah istri, anak, keponakan, adik, kakak, atau apalah hubungan kekerabatannya, dari seorang tokoh, berarti ia juga memiliki kapabilitas seperti tokoh tersebut. Inilah nalar masyarakat yang seharusnya hanya berada dalam sistem kerajaan tetapi berlaku di negara kita yang menganut sistem konstitusional!

Sisi lain yang perlu kita sorot adalah politik citra. Politik citra ini pada praktiknya bisa kita lihat pada retorika, tampilan simbolik dalam berpakaian, dan visualisasi iklan cetak dan atau televisi. Calon pemimpin hadir dalam bentuk citra. Sebuah rekayasa citra diri, imaging. Letak tragisnya adalah cara para pemilih mengambil kesimpulan tentang diri seorang calon. Terjadi pemotongan alur berfikir karena terbelokkannya jalan informasi. Citra, yang sejatinya hanyalah diartikan tampilan luar, dianggap sudah pasti mewakili kebenaran terdalam dari diri sang calon. Walaupun terbersit sedikit sikap kritis pada diri pemilih untuk tidak gampang mengambil kesimpulan dari citra, namun segera dipotong dengan sikap pasrah. “Minimal itulah yang ingin dilakukan oleh sang calon”!

Politik citra adalah siasat jitu, sebagai jalan pintas, untuk merebut kuasa. Proses untuk menjadi pemimpin yang harus berjibaku untuk menempa diri di tengah-tengah masyarakat, dianggap sudah bukan zamannya lagi. Untuk bisa dikenal masyarakat tidak harus mengenal masyarakat. Dikenal masyarakat lebih penting daripada mengenal masyarakat. Tidak terbantahkan, banyak sekali para pekerja sinetron, film, musik, yang telah salah kaprah dianggap sebagai public figure, terpilih menjadi Bupati, Walikota, anggota Dewan Perwakilan, dan sebagainya.

Pada bentuk yang lain, banyak pemimpin yang diimport. Seorang anggota dewan perwakilan bisa mewakili sebuah daerah pemilihan yang dimana dia tidak pernah menjalani kehidupan disana. Kecuali beberapa bulan sebagai syarat memenuhi undang-undang sekaligus untuk berkampanye. Begitu juga untuk pejabat eksekutif. Tidak sedikit yang diimport dari Ibukota Jakarta, seakan menjadi Sang Penyelamat, untuk menjadi kepala daerah hanya karena tanah kelahiran orang tua, nenek, atau kakek moyangnya. Tentu saja dengan modal “gizi” yang tidak sedikit.

Bisa dikatakan bahwa ketidakterdidikan masyarakat dalam politik telah dimanfaatkan maksimal oleh para pembajak kepemimpinan. Mereka adalah para kapitalis dan para pekerja hiburan. Kapitalis, yang telah berhasil menumpuk modal dan melestarikan kesenjangan sosial, telah mengkapitalisasi kedangkalan nalar politik masyarakat. Para pekerja hiburan, aktris, aktor, penyanyi, dan sejenisnya, memanfaatkan kesilauan masyarakat kita yang memang gila popularitas dan pecandu televisi.

Pada akhirnya masyarakat ini, pada hakikatnya, telah membunuh pemimpinnya sendiri. Mereka yang berjibaku, melayani masyarakat, mengenal dan memahami kesejatian kebutuhan hidup, tersingkir dan tidak terpakai. Masyarakat lebih suka menanti pemimpin, bukan mencari dan membentuk. Padahal syarat untuk melakukan perbaikan itu adalah mengenal dan memahami. Pemimpin itu adalah yang makan, minum, tidur, dari dan di tanah tempat masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin itu harus berurat berakar dalam pohon kehidupan masyarakat. Prinsip tawadu’, jiwa yang mukhlis, malu untuk dikatakan berjasa, seakan racun yang membunuh. Tragis! Memanglah, pemimpin itu dari masyarakatnya dan ia mewakili masyarakatnya.

Wallahu a’lam bishowwab.
diambil dari :http://dunia.pelajar-islam.or.id/

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...