Perjalanan panjang bangsa ini merebut kemerdekaan sesungguhnya adalah tapak sejarah perjalanan dakwah. Kekuatan yang tumbuh melkukan perlawanan terhadap kolonialisme berabad-abad lamanya, bersumber wahyu Risalah. Dinul Islam sumber kekuatan utama mayoritas bangsa, dan mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan yang kita raih; “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” (Mukaddimah UUD “45)
Tidak kurang dari tokoh seperti Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah colonial belanda menyampaikan sasarannya pada pemerintah colonial belanda (Dutch Islamic Policy) dengan tujuan mematahkan perlawanan Ummat Islam. Antara lain Snouck Hurgronje menyarankan “yang harus ditakuti pemerintah (maksudnya pemerintah belanda, pen) bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin Politik. Biasanya dipimpin small minority yang fanatic, yakni ulama yang membaktikan hidupnya demi cita-cita Pan-Islamisme. Golongan ulama ini berbahaya kalau pengaruhnya sampai ke desa-desa. Karena itu disarankan supaya pemerintah bertindak netral terhadap Islam sebagai agama dan sebaliknya bertindak tegas terhadap Islam sebagai doktrin politk.”
Pemerintah belanda harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama kebudayaan Indonesia belanda. Ini dapat dimulai dengan memperalat golongan priyayi yang selalu berdekatan dengan pemerintah, karena kebanyakan menjabat PRAMONG PRAJA. Untuk memperlancar usaha tersebut dengan mendidik golongan priyayi dengan pendidika barat (Lihat, J.Benda: The Crescent and rising sun).
Pemerintah haris membantu menghidupkan golongan pemangku adat. Karena mereka menentang Islam. Pertentangan ini disebabkan lembaga adat dibentuk oleh tradisi lokal, sedangkan islam bersifat universal. Kondisi ini memudahkan pemerintah bekerja sama dengan Golongan Pemangku Adat.
Dalam menghadapi Perang Aceh, Snouck Hurgronje menasihatkan supaya dijalankan Operasi Militer ke daerah pedalaman dan “menindak secara keras ulama-ulama yang berada di kampong-kampung serta jangan beri kesempatan para Ulama menyusun kekuatannya dengan membentuk santrinya sebagai pasukan sukarela”. Terhadap “orang Islam awam” pemerintah harus meyakini bawa pemerintah melindungi agama Islam”. Usaha ini harus dijalankan dengan bantuan kepala adat.
Pemerintah harus selalu memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai Doktrin politik. Makin jauh jarak kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam.” Alam pikiran Snouck Hurgronje ini menghunjam sebagai dasar bagi strategi melumpuhkan dan memarginalkan kekuatan Islam yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti-Islam. Sikap ini terus menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus 1945) yakni dicoretnya 7 kata (syariat Islam dari UUD ’45) hingga menolak RUU Sisdiknas (2003) dengan tujuan menggusur pendidikan agama dari system pendidikan nasional. Konsistensi sikap mereka ini mengalir sepanjang sejarah dengan satu tujuan, menjegal aspirasi ummat Islam. Tulisan ini berusaha menelusuri kembali sebagian hal tersebut.
Ketika para pendiri Replubik ini berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 juni 1945 kemudian dikenal dengan piagam Jakarta (Jakarta Charter), sesungguhnya piagam karta inilah mukaddimah UUD ‘45 yang pertama.
Selanjutnya tanggal 17 Agustus 1945 pada hari jum’at bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai Negara dan bangsa yang merdeka. Hendaknya disadari oleh setiap Muslim bahwa Republik yang lahir ini adalah sebuah Negara yang “berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” subhanallah, Allahu Akbar!
Namun keesokan harinya tanggal 18 agustus rangkaian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihapus, diganti dengan kalimat yang maha esa. Inilah awal malapetaka. Inilah wal pengkhianatan terhadap Islam dan Ummat Islam. Tentang hal ini berbagai peristiwa dan wacana terjadi mendahului sebelum apa yang kemudian dikenal dengan “tujuh kata” itu dihapus. Terkait didalamnya antara lain tokoh tokoh seperti Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman singodimejo, Teuku Moh Hasan, Soekarno. Meskipun usianya hanya sehari, Republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah republic yang berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Syariat Islam melekat dalam konstitusinya walaupun hanya sehari. Hal ini tertanam dilubuk yang paling dalam bagi aktivis dakwah. Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbicangan bahwa beliau turut bersalah dengan bahasa jawa halus beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapuskan 7 kata itu. Kasman terpengaruh dengan janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang kilat. Nanti tanggal 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Kasman berfikir, yang terpenting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Hatta juga menjelaskan bahawa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagus, Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo hanya Islam lah agama tauhid. Dalam biografinya Teuku Moh Hasan pun menulis tentang makna yang Maha Esa adalah Tauhid.
Namun enam bulan kemudian soekarno tidak menepati janji. Majlis Permusyawaratan rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada 1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.
Tentang hilangnya tujuh kata ini Mr Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa belanda; menangisi susu yang sudah tumpah!?
Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus kita mengucapkan Alhadulillah menyambut hari lahirnya Negara Republik Indonesia sebagai Anugrah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucap Astaghfirullah (memohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata !”
Sesudah proklamasi kita memasuki (1945-1950) masa kemerdekaan, pasca revolusi, PDRI, penyerahan kedaulatan selanjutnya terbentuknya NKRI melalui mosi integral Moh. Natsir pada 1950. Selanjutnya kita menerapkan demokrasi parlementer diselingi Pemilu I pada tahun 1955 dibawah Perdana Mentri Burhanuddin Harahap (Masyumi), pemilu yang peling bersih dan paling demokratis.
Sementara itu di luar jawa di Aceh yang dijuluki “daerah modal” merasa tidak memperoleh keadilan. Lebih dari itu merasa dikhianati oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia.
Ketika bung karno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Mohammad Daud Beureuh, kepada Abu beureuh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan dan memberlakukan syariat Islam. Namun kenyataannya, Bung Karno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama pemberontakan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk Mohammad Daud Beureuh menelan waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam dihati rakyat Aceh.
Dalam sidang konstituante (1957-1959) Baik dalam panitia Persiapan Konstitusi maupun perdebatan tentang Dasar Negara kalangan Kristen dengan gigih menolak Islam dijadikan dasar Ideologi Negara, didukung kekuatan nasionalis, sekuler, sosialis, partai komunis Indonesia dan lain-lain. Indonesia sesungguhnya merupakan ajang pertarungan Ideologi.
Dalam sidang IV MPRS 1966. Golongan Kristen dengan tegas menolak penafsiran Ketetapan No. XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan pembukaan, maka dengan merupakan bagian dari UUD dan berkekuatan hukum. Menurut mereka Piagam Jakarta hanya ditempatkan dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, bukan dalam diktum atau keputusan keputusan Dekrit itu, jadi (menurut mereka) Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.
Sabtu, 16 Oktober 2010
pengkhianatan atas Islam I
Posted by YAZID QULBUDDIN on 21.17
0 komentar:
Posting Komentar